Jika anak saya Gay? Apa yang akan saya lakukan? Pertanyaan
ini sering muncul di kepala saya seiring dengan makin bergulirnya pro-kontra
perihal keberadaan LGBT, Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender di sekitar kita.
Jujur saya sebenarnya malas terlibat diskusi maupun debat soal ini.
Bukan
apa-apa, rasanya otak saya tidak kuat jika harus melayani para (kalau boleh
saya sebut) ekstrimis kanan dan ekstrimis kiri. Tapi saya tetap menulis ini,
sebagai konsumsi saya sendiri dan anak cucu saya nanti di kemudian hari.
Jika bisa saya simpulkan, bagi ekstrimis kiri LGBT itu bukan
penyakit. Jadi menurut mereka, untuk apa cape-cape mencari obat penawarnya?
Selama mereka masih berguna buat sesama, tidak membuat keonaran dan kerusakan,
mereka layak dong untuk hidup sama seperti kita, dimana saya sangat sepakat
sekali dalam hal ini.
Sementara bagi ekstrimis kanan, sudah jelas kok semua Agama
melarang perilaku seksual (yang menurut mereka) menyimpang. Bahkan di Al-Quran,
ayat yang menyatakan azab nyata bagi para LGBT juga disebutkan dengan jelas
yang membuat saya ikut-ikutan takut menerima keberadaan mereka.
Namun wacana yang beredar bahwa LGBT penyebarkan penyakit
dan membuat orang-orang yang heteroseksual menjadi homoseksual, menurut saya itu
masih debatable. I mean, come on…
Kalian pikir kaum heteroseksual tidak menyebarkan penyakit? Malah menurut saya
mereka lebih bertanggungjawab atas peningkatan jumlah penderita penyakit
menular seksual, HIV & AIDS dan sebagainya mengingat populasi mereka lebih
besar dari para penyuka sesama jenis.
Perihal LGBT yang suka ngajak-ngajak…
Bagi saya, udah lah yah… setiap manusia kan dibekali akal untuk mikir. Ini
sebenarnya sebelas duabelas dengan prostitusi. Dalam kasus prostitusi, apa yang
harus disalahkan si om-om genit? Atau justru kesalahan ada di perempuan yang
mau saja menjajakan tubuh demi materi?
Saya percaya lingkungan memang mepengaruhi seseorang. Tapi again, kita punya nilai-nilai kebaikan
yang ditanamkan orang tua kita sejak kita kecil. Kita punya akal dan pikiran.
Jadi jika ada orang korupsi lalu apakah yang disalahkan orang tuanya? Hell… NO!
Semoga kalian tubuh menjadi manusia yang mencintai kemanusian dan penebar segala kebaikan. Amin.. |
Kembali ke pertanyaan diatas. Lalu apa yang akan saya
lakukan jika anak saya ternyata gay? Pertama, Bapake pasti bakal shock berat. Ngamuk-ngamuk. Lempar henpoo… eh ga jadi, lempar piring and so
on.. and so on. Saya kemudian akan memintanya untuk tenang dan membiarkan
saya berkomunikasi dari hati ke hati dengan si anak.
Dari dulu, kepada anak-anak, saya selalu meminta mereka
untuk jujur. Bercerita apapun yang mereka rasakan, mereka pikirkan. Saya tahu
sebagai Ibu saya tidak selalu bisa berada di sisi mereka. Karena itu dengan
bercerita, setidaknya bisa mengganti waktu yang saya lewatkan bersama mereka.
Kadang mereka juga diam sih, karena takut saya atau pak Gentur marah jika tahu
apa yang baru mereka lakukan. Ini memang jadi peer buat kami berdua. Kurangin marah-marah, woy…!
Kedua mau tidak mau yang akan saya lakukan adalah menerima
kondisinya dan saya ajak bicara. Ga
mau terlalu mengintrogasi sih, takut jatuhnya malah intimidasi. Saya akan
bilang sama dia, bahwa bagi saya tidak ada yang salah dari dirinya. Tapi dia
harus ingat sebagai muslim, Al-Quran adalah pedoman hidup kita. Mungkin bagi
saya dia tidak salah, tapi jika tidak dibenarkan Al-Quran, maka itu yang
menjadi arah hidup kita. Saya akan minta dia untuk semakin mendekatkan diri
pada Tuhan. Mengalirkan energinya untuk hal-hal positif.
Kok saya kesannya malah tidak mendukung anak saya yah, jika
ternyata dia Gay? Yah, sejujurnya I have
no issues with LGBT. I don’t mind to support them having live as normal people.
But honestly, I am afraid my children grow up like them. I hope, it’s not gonna happen…
No comments:
Post a Comment