Satu tahun lalu saya memasukan Danis ke sekolah Taman
Kanak-Kanak. Sebagai orang tua, tentu saya ingin memilih sekolah yang terbaik,
sekolah yang rata-rata membutuhkan biaya masuk dan biaya bulanan yang tidak
sedikit. Setelah berhitung, riset sana riset sini, pilihan saya jatuh pada
sekolah yang dikelola oleh Yayasan TNI AU.
Biaya masuknya relatif tidak terlalu mahal. Sekitar tujuh
jutaan kalau saya tidak salah, sudah termasuk uang seragam dan kegiatan. Lokasinya
juga tidak jauh dari rumah dengan kurikulum yang (berdasarkan beberapa testimoni)
cukup bagus. Sementara biaya per bulan sebesar Rp 275,000. Besar sih menurut
saya untuk ukuran sekolah TK (walaupun pasti ada yang lebih mahal lagi). Tapi
OK lah, saya dan suami masih mampu.
Masalah (kalau bisa saya sebut masalah) kemudian mulai
muncul hanya selang beberapa hari setelah Danis mulai aktif sekolah. Ternyata
biaya yang saya harus keluarkan tiap bulan tidak pernah persis Rp275,000. Selalu
ada tambahan biaya-biaya lain. Mulai dari uang kas sebesar Rp 50,000 per bulan,
cicilan baju drumband (yang kalau dibayar tunai mencapai Rp 500,000!) bahkan
untuk latihan drumband pun saya ‘dipalak’ Rp150,000 untuk konsumsi anak-anak.
Belum lagi ketika ada perlombaan ini-itu, orang tua kembali
dibebankan. Lalu pertanyaan saya, uang kegiatan yang sudah saya bayar dimuka
itu untuk apa? “Ohh… itukan untuk anak-anaknya bu. Kita kan tetap harus sewa
bus dan menyediakan konsumsi buat ibu sebagai pengantar,” ujar seorang ibu
teman Danis, di grup BBM.
Waktu sekolah Danis tersisa 4 bulan lagi. Dan kemarin saya
mendapat undangan rapat orang tua murid untuk membahas beberapa kegiatan yang
tersisa mulai dari lomba drumband sampai pentas seni yang saya asumsikan pasti akan
ada tuntutan cost lagi.
“Yaela… pelit amat sih, buat anak ajah perhitungan,” mungkin
itu anggapan orang terhadap saya. Terserah yah orang mau bilang apa, tapi
sejujurnya saya merasa dibohongi pihak sekolah. Jika dari awal saya tahu akan
dibebani biaya lain-lain yang (kadang) besarnya melebihi SPP-nya sendiri, tentu
saya akan berpikir ulang memasukan anak saya ke sekolah itu.
Memang sekolah memberi pilihan untuk tidak mengikuti semua
kegiatan. Lalu sebagai orang tua apa saya tega membiarkan Danis tidak ikut
latihan drumband, sementara semua teman-temannya ada disana? Tiap orang tua
pasti sadar kemampuannya. Kalau dia hanya mampu bayar sekolah sebulan
Rp250,000, tidak mungkin anaknya dimasukan ke sekolah berbiaya Rp500,000 per
bulan.
“Yaudah… sekolah kan juga butuh duit. Kalau semua dibuka
didepan, mungkin yang daftar jadi ga banyak,”. Ini pendapat pak Gentur. Ga salah sih. Tapi coba bayangkan orang
tua yang hidupnya pas-pasan? Kasian ga
sih tiap bulan ada ajah pengeluaran tambahan yang harus dibayarkan?
“Eh.. sama guru ga
boleh pelit! Dia loh yang bikin anak lo pinter..!” Iyah sih. Tapi kalau saya mikirin
nasib guru, terus nasib saya gimana? Tiap bulan loh, selalu ada biaya ekstra
yang harus saya bayarkan dan membuat cash
flow berantakan.
“Udaaahhh.. Homeschooling!,” duuhhh.. saya kayanya belum
berani mengambil langkah ini. Bukan apa-apa, bagaimanpun juga kita hidup di
lingkungan dimana sekolah menjadi parameter tingkat pendidikan seseorang. Saya
juga ga yakin bisa mengajarkan mata
pendidikan yang tidak saya kuasai seperti science,
matematika dan sebagainya.
Pada akhirnya saya cuma bisa pasrah. Yaudahlah yah.. mau
gimana lagi? Sebagai catatan bagi orang tua yang akan menyekolahkan anaknya,
siap-siap yah.. akan amat sangat banyak biaya tak terduga yang (kadang) bikin
sakit kepala.
Satu tip dari saya, pastikan kita menurunkan standar kita
ketika memilih sekolah. Misalnya kita mampu membayar tiap bulan Rp500,000,
turunkan menjadi Rp250,000 sehingga sisannya bisa dimanfaatkan untuk biaya tak
terduga tadi.
suasana latihan Drumband sekolah Danis |