Tuesday, March 6, 2012

Paris..? Hmm...

Udah lama ga ngeblog. Mumpung lagi ngedit dan dari pada bengong, ga bawa buku apalagi DVD, maka saatnya sekarang untuk ngeblog lagi. Kali ini saya mau menulis tentang pengalaman singkat menginjakan kaki di kota sejuta pesona, Paris. Kota yang katanya menjadi impian orang-orang muda dunia untuk tinggal atau sekedar berkunjung menikmati semua keindahannya.

Waktu tahu bisa punya kesempatan untuk ke Paris, rasanya…. Hmm, ga usah diceritain lagi lah yah. Yang pasti excitednya sungguh menggila. Kesempatan yang ga pernah terbayangkan sebelumnya, kini ada di depan mata dan diberikan secara percuma. Err… ga percuma sih, disuruh kerja juga. Huhu..

Anyway, saya menjajakan kaki pertama kali di tempat ini pada awal Januari tahun ini, dalam perjalanan menuju Haiti. Yah, tujuan utama saya sebenarnya Haiti untuk meliput kondisi social politik disana pasca rentetan konflik perebutan kekuasaan dan gempa besar pada 2010 lalu.

Ini adalah perjalanan terpanjang saya. Bayangkan saja, untuk mencapai Haiti saya harus transit sebanyak 3 kali dan harus pindah bandara di Perancis untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya. Total, hampir dua hari dua malam untuk mencapai Haiti.

Namun justru perjalanan panjang inilah yang membuka kesempatan saya bertemu dengan Paris. Dari Jakarta, saya transit pertama kali di Singapura, kemudian ke Charles De Gaulle, Paris. Untuk melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Bandara Pointe Pitre di Guadalupe, saya harus keluar dari Charles De Gaulle dan pindah ke Bandara yang lebih kecil di kota Paris yaitu Orly.

Saya tiba di Paris pukul 6 pagi waktu setempat. Surprise ternyata rasanya biasa saja waktu tahu sudah sampai Paris. Hehe.. Mungkin karena Paris bukan tujuan utama perjalanan saya kali ini dan beban pekerjaan yang masih menggelayuti. Terlebih, saya tidak suka Paris di bulan Januari. Dinginnya sadis. Jam 8 pagi masih gelap gulita dan hujan yang tak berhenti turun.

Belum banyak aktivitas yang berarti di Charles De Gaulle pagi ini. Toko-toko juga masih tutup. Mau jalan-jalan, waktu transit kami terlalu singkat. Hanya 6 jam. Cuaca juga tidak memungkinkan. Atas kesepakatan dengan rekan kerja saya, akhirnya kami memutuskan untuk langsung menuju Bandara Orly dan menunda dulu keliling kota ini

Setelah tanya sana-sini, kami menggunkan shuttle bus yang disediakan maskapai Air France untuk mencapai Orly. Biaya, sekitar 32 Euro untuk kami berdua. Belakangan saya baru tahu, ternyata untuk penumpang transit seperti kami ini sebenernya shuttle bus disediakan cuma-cuma.

Dengan kemacetan pagi hari, perlu waktu sekitar satu jam dari Bandara Internasional Charles De Gaulle menuju Bandara Internasional Orly. Kalau di Indonesia, mungkin seperti Cengkareng dan Halim Perdana Kusuma. Bandara ini juga jauh lebih kecil dari Charles De Gaulle.




Sampai di Orly, pikiran saya langsung sibuk dengan tugas-tugas yang menunggu di Haiti. Kekhawatiran apakah segala sesuatunya bisa berjalan sesuai rencana dan rintangan apa saja yang mungkin akan kami hadapi. Namun sesekali, kepikiran juga sih bagimana caranya bisa sempat mampir dan foto di Menara Eiffel ketika transit dalam perjalanan pulang nanti. Hehe…

Tidak mudah memang bekerja dinegeri orang. Di negeri sendiri saja, banyak halangan apalagi di negeri yang bahasanya tidak kita mengerti. Stress sudah menjadi makanan sehari-hari. Tapi hey, namanya juga tugas. Tentu harus dijalankan dengan sebaik mungkin.

Maka setelah hari-hari terakhir saat di Haiti, saya mulai mengatur strategi dalam kunjungan kedua di Paris. Kami berhak untuk bersenang-senang, setelah kerja keras kami. Lagipula, dalam perjalanan pulang kami nanti akan transit selama hampir 14 jam! Konyol kan kalau segitu lamanya nunggu, kita tidak sempatkan diri untuk keliling Paris. Visa sudah ditangan. Kurang apalagi?

Namun saya bingung, bagaimana teknis saat sudah di Paris nanti. Apakah naik bis karena lebih murah, atau taksi agar tidak tersesat. Namun masalah lain muncul karena kami tidak mungkin berkeliling dengan barang bawaan yang begitu banyak. Cara terbaik adalah dengan menyewa mobil. Namun siapa yang bisa kita percaya saat meninggalkan barang-barang dengan orang yang baru dikenal?

Saya mencoba menghubungi KBRI kita di Paris untuk minta petunjuk mengenai hal ini. Meski sebenarnya secara tidak langsung, saya berharap juga mereka sendiri yang menemani kami. Karena pengalaman-pengalaman saya sebelumnya, biasanya KBRI itu sangat baik terhadap wartawan yang berkunjung. Namun untuk Paris, sepertinya ekspektasi saya terlalu tinggi.

Mereka tidak banyak membantu. Namun menyarankan saya untuk menyewa mobil milik orang Indonesia. Ya sudah lah, pikir saya. Sama saja. Yang penting orang Indonesia, bisa dipercaya. Maka ketika saya menghubungi nomer yang KBRI berikan, saya kaget begitu tahu harganya: 420 Euro hanya untuk menjemput kami di Orly, berkeliling di kawasan Etoile lalu mengantar kami ke Charles De Gaulle.

“Wah pak, mahal sekali. Budget saya Cuma 200. Itupun Dollar bukan Euro,” ujar saya kepada si bapak yang akan menyewakan mobil. Lalu si bapak membalas; “Ok, 200 Euro tapi Cuma 4 jam yah,” balas si bapak. Tanpa berpikir dua kali, saya pun langsung mengatakan tidak. Gilaaa yah, sesama orang Indonesia ajah dimahalin!!! Bener-bener sakit hati deh nemu ada orang Indonesia yang perhitungan banget sama sesama ‘saudaranya’ sendiri.

Akhirnya, di bandara Toussaint Louverture, Port-Au-Prince, dalam perjalanan pulang kami menuju Indonesia, saya menyerahkan kepada semesta apa yang akan terjadi selanjutnya. Yang jelas, saya telah membulatkan tekad untuk sekedar menengok Eiffel dalam kunjungan singkat saya di Paris, apapun caranya, tapi tetap realistis dan ramah di kantong. Hehe..

Rupanya semesta mendengar curhan hati saya. Dalam penerbangan Air France dari Haiti menuju Guadalupe, saya duduk berdampingan dengan warga negara Prancis yang tinggal di Guadalupe.

Sekedar informasi, Guadalupe adalah kolonialisasi Prancis di Benua Amerika. Negeri kecil yang tropis dan didominasi oleh masyarakat berkulit hitam ini menggunakan Prancis sebagai bahasa Nasional mereka dan Euro sebagai mata uangnya.

Menurut teman seperjalanan saya itu, tidak sulit sebenarnya bagi kami untuk berkeliling di Paris apalagi mengingat kami punya waktu hampir 14 jam transit. Pria yang umurnya sekitar 35 tahun ini menunjukan kepada saya sebuah peta yang merupakan salah satu halaman dari majalah internal Air France. Bahkan ia tidak segan merobek peta tersebut dan memberikan kepada kami. “Trust me, u not gonna lost in Paris,” ucapnya meyakinkan saya.

Maka setelah menempuh perjalanan selama 10 jam di pesawat dan transit lebih dari 8 jam di Guadalupe! Iyah, 8 jam tanpa boleh keluar dari boarding room yang tidak memiliki fasilitas ruang merokok, internet, juga restoran itu, akhirnya kami tiba juga di bandara Internasional Orly, Parisss…!!! Uhuuuyyy… Senangnya bukan kepalang. Yang pertama saya lakukan adalah check-in di Foursquare. Lumayan, buat kenang-kenangan. Hehe..

Sesuai petunjuk pria baik tadi, maka saya langsung menuju bandara Charles De Gaulle untuk early check-in dan bagasi. Berbeda dengan ketika kami berangkat, dari Bandara Orly ini ternyata kami mendapat voucher gratis untuk menumpangi shuttle bus Air France menuju De Gaulle. Lumayan lah, bisa ngirit. Hehe.. Dan yang lebih membahagiakan, hari ini Paris tidak hujan walaupun cuaca diluar sana mendung.

Setelah check-in dan nyasar sana-sini, akhirnya kami berhasil menemukan bis yang akan membawa kami ke pusat kota Paris di Etoile. Sebenarnya bis ini sama dengan yang kami gunakan dari Bandara Orly tadi, yaitu LessCar yang disediakan oleh Air France untuk para penumpangnya dan masyarakat umum.

Bis ini memiliki 4 jalur, De Gaulle-Orly, Orly-De Gaulle dan sisanya menuju pusat kota. Memang harga tiketnya lebih mahal jika dibandingan naik kereta. Namun percaya lah, naik bis ini lebih praktis dan lebih murah dari Taksi.

Cuaca Paris berkisar antara 4 derajat celcius hari itu. Hujan turun dalam perjalanan kami menuju Etoile. Kata teman saya, saat Winter hujan memang selalu turun di Paris. Harga tiketnya, kalau saya tidak lupa, sekitar 24 Euro untuk pulang pergi.

Saat itu jujur saja, saya mulai kehilangan euphoria Paris. Mungkin karena cuaca yang dingin, backpack yang berat, hujan dan tubuh yang sangat lelah. Terlebih setiba di Etoile, tepat di hadapan Arc de Triomphe yang tersohor itu, rasa lelah mencapai puncaknya.

Tubuh saya mengigil. Ia menolak untuk saya bawa jalan menuju Menara Eiffel yang berjarak hanya sekitar 1 kilometer itu. Tanpa berpikir dua kali, saya langsung menarik teman seperjalanan saya untuk masuk ke sebuah café yang terlihat cukup berkelas. “Met, emang lo ada duit buat makan disini,” kata teman saya. Lalu saya balas, asal terima kartu kredit, pokoknya aman lah. Hehe..

Saya memang membawa Euro seadanya. Hanya 200 saja dengan perhitungan untuk transportasi dan makan ringan. Diluar perkiraan, ternyata kebutuhan meningkat. Tapi syukurlah ada kartu kredit, benar-benar teknologi yang mengerti saya. Hehe…

Setelah melahap steak rib eye dengan kentang goreng yang nikmatnya selangit (maklum, laperrrr berat dan kedinginan), akhirnya kami melanjutkan perjalanan menuju Eiffel. Oiya, jangan tanya yah berapa biaya yang kami habiskan di café ini. Ga perduli juga sih, yang penting kenyang!



Hujan belum juga reda. Sepatu dan pakaian saya mulai basah. Tapi rasa penasaran akan kedigdayaan Eiffel Tower memaksa kaki kami terus melangkah. Ditengah pejalanan, tiba-tiba seorang yang berada di dalam mobil Peugeot memanggil kami. Ia bilang, Ia adalah pemilik konveksi ternama di Italia yang baru saja menggelar Fashion Show di Paris. Ia ingin memberikan dua jaket kulit untuk saya dan teman saya yang merupakan sisa pergelaran semalem, secara cuma-cuma…!

Tentu saja yang melonjak kegirangan mendapat tawaran tersebut. Namun tak lama berselang, pria yang berusia sekitar 50 tahun itu menambahkan: “I’m going back to Italy now by car, but I need money to buy a gas,” Yaahhh.. ga enak endingnya. Saya dan teman saya, tanpa basa-basi, langsung meninggalkan si bapak tadi. Lucu juga yah, ternyata bukan di Jakarta saja yang banyak penipuan seperti ini, sekelas Paris pun ternyata tak sepenuhnya aman.

Setelah perjalanan panjang dan godaan untuk berbalik pulang karena kelelahan, akhirnya kami tiba juga di sebrang Menara Eiffel. Reaksi saya saat itu: “Ohh.. ini toh yang namanya eipel…” Sangat gloomy, burem, tak seindah yang saya bayangkan. Wajar sih, it’s Winter… You can not expect more. Tanpa matahari, bagi saya Eiffel terlihat seperti tumpukan besi tanpa arti.

Sungai Seine juga berwarna keruh airnya. Ga beda jauh lah sama Ciliwung. Bau pesing merebak disekitaran taman di areal Champ de Mars. Ga jauh beda sama terminal Pulo Gadung. Saya tak bisa, bahkan cenderung malas melihat puncak Eiffel karena malas air hujan akan membasahi wajah saya yang sudah lusuh.

Teman saya langsung mengeluarkan kamera SLR-nya. Cepret sekali, cepret dua kali, lalu dia meminta saya berpose. Cepret sekali, cepret dua kali. “Gimana met, udah puas belum foto-fotonya? Mo kemana lagi sekarang kita?” kata teman saya yang langsung membuat saya tertawa kencang. Sepertinya kami memang satu pemikiran. Tempat ini hanya cocok untuk berfoto dan memamerkan kepada teman-teman se-Fesbuk. Selebihnya, Jakarta tetap lebih indah.

Yah, tempat manapun sebenarnya indah. Asal kita kesana untuk berlibur atau tidak sedang bekerja dan bersama orang-orang tercinta. Karena semua yang saya cinta ada di Jakarta, maka kota ini selalu indah apapun kondisinya.

Rencana menengok museum Louvre pun batal. Karena badan sudah berontak dan hari beranjak malam meski baru pukul empat sore. Siang memang pendek disaat musim dingin. Hey, it’s Winter… You can not expect more, right?

Akhirnya kami memutuskan untuk langsung kembali ke Bandara meski kami masih punya banyak waktu tersisa. Namun dalam perjalanan saya berdoa khusuk, semoga bisa kembali ke tempat ini ketika Summer yang indah bersama para belahan jiwa saya. Pure untuk liburan, bukan selingan ketika bekerja. And I know You will answer my wish, Lord. Aminnn… 