Wednesday, December 10, 2008

Kompromi

Sebuah pesan singkat masuk menjelang pukul tujuh pagi ini. Saat saya berusaha mengalahkan kantuk karena baru terlelap menjelang subuh dan menahan amarah karena janji yang telah dibuat dengan seorang rekan kerja tertunda hingga dua jam kedepan. Sebuah pesan singkat yang menyejukan sekaligus membuat saya tambah pusing saja. Pesan itu dari seorang sahabat yang meski tengah sibuk dengan urusan pernikahannya akhir pekan ini, namun masih sempat meluangkan waktu untuk memberi solusi atas sebuah persoalan diri.


Pesan itu berisi ajakan untuk belajar lebih berkompromi. Terhadap hidup, terutama dalam sebuah hubungan. “Lo tolong buka blog gw, lita di list artikel kiri atas, klik tulisan ‘titik temu’” begitu ucapnya diakhir pesan.


Untuk beberapa hal, saya punya banyak kesamaan dengan sahabat saya ini. Pun dari cara pandang dan dalam memaknai sebuah permasalahan, kita tidak jauh beda. Termasuk dalam hal yang satu ini : kompromi.


Dia bilang berkompromi adalah “Saat saya mengurangi kemauan saya dan dia menambah upaya untuk memenuhi keinginan saya. Ketika dia sedikit mengabaikan kepentinganya dan saya berusaha untuk selalu memahaminya.” Ok , dalam tataran wacana teori teman saya ini mungkin terdengar hampir sempurna. Tapi toh pada kenyataanya, terutama apa yang saya alami sekarang teori tersebut mentah begitu saja.


Tapi saya sadari, persoalan utama yang masih mengganjal adalah bagaimana mengenyampingkan ego dan menyadari bahwa perbedaan tidak harus disikapi secara frontal. Sayangnya bagi saya, ketika bicara soal masa depan sikap kompromis perlu sedikit dikesampingkan. Mungkin di satu sisi saya bisa menerima perbedaan tadi. Memahami berbagai kekurangan yang dimiliki. Tapi lagi-lagi jika bersentuhan dengan masa depan, maka saya akan menuntut sampai kapan saya harus menjadi seorang kompromis? Sementara disatu sisi, usaha menuju perubahan-yang saya nilai baik untuk masa depan, tidak dilakukan.


Untuk pertanyaan tadi, teman saya punya jawabanya. Ia bilang, hubungan dua manusia tidak sama dengan dagang, dimana satu barang harus ditukar dengan barang lain yang nilainya setara. “Jika kita punya cabe, sementara yang orang butuhkan adalah kecap, kita tak harus memaksakan diri menyerahkan cabe untuk mengganti roti yang telah dia berikan. Dia juga tidak perlu memaksakan diri makan gudeg (sahabat saya ini orang jawa) meski saya telah belajar makan konro (calon suaminya orang makassar). Ada kalanya saya dan dia membiarkan sesuatu apa adanya, tanpa harus ditambah atau dikurangi agar berada di titik tengah.”


Tentu saya setuju dengan pernyataan teman saya tadi. Terlebih dalam argumenya kali ini, dia memberi catatan dimana saya pun berpikir demikian: “Standar baku untuk cowok itu hanya dua aja kok met: tanggung jawab & mau berusaha” ucapnya. Lalu dengan hanya menggantongi dua standar baku tersbeut, namun ternyata hanya satu yang bisa dipenuhi, apa saya masih bisa bersikap kompromi?