Thursday, November 13, 2008

Pertemuan dengan Anto Djadul


“Saya Anto mba.., Anto Djadul. Djadul-nya jangan lupa yah,” ujar pria kurus hitam itu tersipu malu saat kali pertama kami bertemu. Pagi itu ia menggunakan pakaian lengkap khas tentara kompeni di era penjajahan Belanda dulu. Kemeja putih yang sudah menguning warnanya termakan usia, dipadukan dengan dasi kumal warna merah dan jas putih serasi dengan celana panjang warna senada plus topi bulat putih yang akan mengingatkan kita pada jaman dahulu kala. "Ini (setelan jas dan celananya) baru datang lo mba. Baru tadi pagi dikirim dari Jawa. Harga satu stelnya Rp.160 ribu," jelas Anton sembari memamerkan giginya yang menguning dan tak karuan bentuknya.

Hari ini kami akan melakukan pengambilan gambar untuk salah satu program, di sebuah stasiun televisi swasta. Program berita ringan yang bertutur tentang perjalanan sejarah. Produser kami sengaja mendaulat pria asal Jawa Tengah itu sebagai memandu acara yang memang sesuai dengan penampilan serta hobi Anto yang menggilai apapun yang bernuansa tempo doeloe. Jadi di acara ini, Anto tak perlu menjadi orang lain. Cukup dirinya sendiri.

Anto memang unik. Dari pertama kali bertemu, dia memang sudah unik. Bayangkan saja, ketika kami menjemput di bawah jembatan pasar glodok, ia pede saja dengan 'seragam' lengkapnya itu beserta sepeda ontel tua miliknya yang menjadi properti produksi, berdiri di pinggir trotoar sembari celingak-celingung mencari mobil kami. Semua mata tertuju padanya.

Tapi Anto tetap cuek bebek. Ia tidak melepas kostum lalu menggantinya dengan kaos biasa, meski keringat terus mengucur karena panasnya cuaca Kota pagi itu. "Wah.. aku sudah nunggu dari tadi mba," ucapnya dengan logat Jawa kental sembari melangkah masuk ke mobil kami.


Pertemuan Anto dengan kru stasiun televisi swasta itu memang tidak disengaja. Kala itu, Anto adalah narasumber mereka. Tertarik dengan penampilanya yang lugu dan apa adanya, Anto pun di daulat menjadi pemandu acara. Entah karena untuk menekan budget atau guna menonjolkan karakter si host, sang produser menyerahkan seluruh urusan kostum dan properti ke Anto sendiri.

Mulai dari kacamata tua ala John Lennon, sepeda ontel sampai kamera yang meski sudah tua namun masih berfungsi dengan baik. Jika membutuhkan properti atau kostum tambahan, sang produser tinggal meminta Anto untuk mencari dan membelinya sendiri. Tentu, nanti uang yang sudah ia keluarkan akan diganti.

Sehari-hari, ia adalah tukang parkir di kawasan Glodok Kota. Kawasan yang tak pernah mati, meski malam tengah beranjak pagi. Dua belas tahun sudah ia menggeluti profesi ini. "Tapi saya ga pernah masuk ke dalam mba. Padahal saya pengen banget tau ada apa disana. Paling kedengeran suaranya aja. Jedag.. Jedug..," selorohnya.

Anto tinggal sendiri di Jakarta disebuah kamar petak kumuh yang tak jauh dari kawasan tempatnya bekerja. Sementara istri dan kedua anaknya hidup di desa. Bertahun-tahun, sang istri mengidap kanker rahim yang ketika saya tanya sudah stadium berapa, ia malah mengeleng tak tahu apa arti istilah itu. "Pokoknya perutnya sudah dioperasi berkali-kali. Bekas jahitanya aja banyak banget," ungkap Anto.

Penghasilan Anto sendiri sebagai tukang parkir, jelas tak seberapa. Dalam sehari ia bisa mengantongi Rp. 100 ribu dimana 30 persenya harus disetor ke Dinas Perhubungan DKI. Namun, karena keunikannya tadi, ia juga kerap menjadi model untuk fotografer-fotografer profesional maupun amatir yang ingin menciptakan foto dengan tema tempo doeloe. "Nih mba, liat foto-fotoku. Bagus kan? Yang moto Yudistira loh mba. Dia fotografer, juga pengacara," jelas Anto pamer.

Namun lagi-lagi, uang yang di dapat pun tak seberapa. Apalagi pekerjaan jadi model ini sifatnya musiman. Karena itu dengan profesi barunya sebagai presenter, Anto tak henti-hentinya berucap syukur. Mempercayai, bahwa Tuhan memang selalu ada untuknya.

Meski tidak berpendidikan tinggi, tapi cara kerja Anto menurutnya saya sangat profesional. Ia pantang mengeluh. Selalu tersenyum dan bertingkah konyol yang mengundang berjuta tawa. "Kalo nanti mba kerja sama saya, maaf yah mba kalo saya susah diajarin. Maklum, cuma tukang parkir," kilahnya.

Ketika bercerita tentang sang istri, tak ada guratan kesedihan yang tergambar di wajah Anto. Entah karena penyakit istrinya yang sudah bertahun-tahun atau karena begitu lah sifat alaminya. "Yang jelas, gusti Allah pasti sayang sama aku. Kalo sudah rajin solat malam dan berdoa tapi masih saja ada cobaan, berarti gusti Allah sayang sekali sama aku," pungkasnya.

-----

Hmmm.. jadi mau tau seperti apa Anto Djadul, nonton Riwajatmoe Doeloe yah di TVOne. Tiap Jumat, jam 09.30 wib. Atau mo nonton Mata Kamera juga ga pa-pa. Cuma gw lupa waktunya kapan. Pokoknya seminggu dua kali lah tiap jam 19.00 wib. Heuheuheuheu.. =')

Aisa si Angsa

Aisa adalah angsa remaja yang tengah beranjak dewasa. Ia tidak memiliki bulu cantik, pun tidak juga dikatakan buruk rupa. Aisa punya banyak teman. Mereka bilang ia menyenangkan dan selalu ingin membantu kawan. Namun aisa juga punya banyak kekurangan.

Tak heran, tidak sedikit juga yang enggan untuk berkawan. Mereka bilang ia pemarah, suka menyepelekan kemampuan teman serta berbagai kekurangan lainnya. Kadang karena kekurangan-kekurangan itu, meski ia ingin berbuat baik malah justru dipandang negatif. Tapi Aisa tidak mau ambil pusing. Ia tetap ceria menjalani hari. Terutama untuk mengejar semua mimpi.

Konon kabarnya ada sebuah danua yang indah di negeri nun jauh disana. Airnya tenang, jernih dan berkilau ditimpa sinar mentari kala pagi tiba. Angsa-angsa disana juga ramah-ramah dan begitu terbuka kepada siapa saja. Namun yang paling menggiurkan adalah ketika teman aisa yang pernah berkunjung kesana berkata, di danau itu ia bisa meraup berjuta pengalaman yang akan menuntunya menuju masa depan cemerlang. Berkunjung ke negeri itu, menjadi mimpi aisa saat ini.

Namun sayang, untuk menggapai itu bukan perkara mudah. Banyak yang harus aisa persiapkan luar dan dalam. Mengorbankan apapun juga, demi meraih kehidupan yang lebih baik. Sementara tak jarang teman-teman aisa mengingatkan, bahwa di danau yang ia diami saat ini pun kehidupan lebih baik bisa diwujudkan.

Aisa bingung. Ia gamang. Tak tau harus berbuat apa. Disatu sisi, mimpi menikmati hidup di danau indah itu kian menyesakan diri. Namun disisi lain, ia menyadari beragam keterbatasan yang berdiri bagai tembok kokoh dihadapanya. Berjuta keraguan bergumul hebat di kepala. Haruskah ia menyerah dan fokus pada hidupnya sekarang atau tetap mengejar mimpi meski harus berjalan pelan.

Memang apa yang teman-teman aisa katakan, ada benarnya juga. Hidup aisa, tidak terlalu buruk. Bahkan kerap kali ia lebih beruntung. Misalnya di tempatnya saat ini, aisa relatif mudah mencari makanan dengan ikan-ikan kaya gizi sehingga ia bisa tumbuh sehat dan bulu-bulunya pun mulai terlihat lebih indah.

Karena terus belajar menguatkan sayap-sayapnya, dan tentu dengan sedikit keberuntungan karena arah angin yang mendukung, aisa juga pernah berkunjung ke negeri indah nun jauh disana. Sesuatu paling membahagiakan bagi angsa betina yang selalu punya semangat itu. Namun sayang, hal tersebut hanya sekejap saja. Dan kini, keinginan untuk mengulang keberuntungan itu selalu menghantui tidur aisa.

Kegamangan terus mewarnai hidup Aisa. Benarkah, mimpinya itu terlalu mustahil untuk diwujudkan. Jika tidak, sampai kapan ia bertahan mengumpulkan keping demi keping harapan. Toh sekeras apapun ia berusaha, tetap saja Aisa tak mampu mengepakan sayap sekuat-kuatnya untuk meraih segala cita. Dan kini, Aisa patah arang.