I could stay at home, but I prefer to work because I wanna teach my kids nothing in life comes easy ...
Wednesday, November 20, 2013
Liburan
Monday, November 18, 2013
Break
Sepanjang usia produktif, tidak pernah sekalipun saya jobless. Saya bahkan sudah bekerja sebagai pekerja profesional saat masih duduk di bangku kuliah. Kalau di total, sudah hampir 9 tahun saya berprofesi sebagai pekerja media.
Jenuh sih. Bosan. Ingin coba hal baru, tapi saya terlanjur jatuh cinta pada pekerjaan ini. Kayanya, ini pekerjaan yang paling asik se-dunia. Kita di tuntut untuk tahu banyak setiap hari. Tambah ilmu, tambah pengetahuan. Terus dibayar lagi. Gimana ga asik?
Tapi sejak pertengahan tahun lalu, tepatnya setelah pindah dari media tempat saya hampir 5 tahun berkarya, rasa jenuh ini semakin menjadi-jadi. Saya benar-benar ingin break, istirahat, ingin melakukan semua hal yang sulit saya lakukan seperti sekarang ini.
Saya ingin di rumah saja. Ngurus anak-anak. Memasak. Membaca buku-buku yang sudah lama ingin saya baca. Menonton film. Tidur dan bangun tanpa dijadwal. Pergi ke tempat-tempat yang sudah lama ingin saya kunjungi tanpa ada beban kerja. Menghabiskan lebih banyak waktu dengan keluarga dan sahabat-sahabt saya. I really want to be freewoman. Yah at least for two or three months, keluar dari rutinitas sebagai makhluk pekerja.
Dan saya tidak pernah takut nantinya kesulitan mendapat pekerjaan. Karena prinsip standar, dimana ada kemauan disitu ada jalan. Ga sulit kok cari kerja. Yang sulit adalah mendapatkan pekerjaan sesuai dengan standar hidup kita.
Nah.. This is the problem. Siap kah saya, setelah jobless nanti bekerja tidak seperti yang saya harapkan? Karena bukannya ingin besar kepala, tapi saya yakin banyak yang ingin mendapat tempat seperti saya sekarang ini.
Ditempat saya sekarang ini pekerjaan menyenangkan, salary lumayan, weekend dan hari-hari besar libur. Asik banget kan?
Lalu kalau nanti ternyata pekerjaan saya tidak sesuai harapan, apakah saya siap menurunkan standar hidup saya? Siap mengetatkan ikat pinggang, untuk memenuhi kebutuhan?
Rasanya, ga siap sih. But I really need a break! Gimana nih..? Hiks.. :/
Stigma
Kenapa yah, kondisi psikologis perempuan selalu dikaitkan dengan status sosialnya? Misalnya, kalau punya atasan yang doyan marah-marah pasti orang akan menebaknya dia single alias belum menikah.
Entah bagaimana awalnya bisa muncul stigma seperti ini. Apakah dari kaum pria yang tersisih karena kepemimpinan perempuan? Atau apa?
Padahal yang namanya kelakuan aneh atasan, menurut saya sih ga pandang gender. Dulu bos saya cowok, terkenal dan pintar tapi kelakuannya tetap saja absurd.
Tapi kembali lagi soal perempuan yang belum atau menikah. Saya sebenarnya ga percaya kondisi emosional seseorang terutama dalan bekerja dipengaruhi status sosial dia. Yah kalaupun dipengaruhi, efeknya ga signifikan lah. Sampai saya mengalami sendiri, dipimpin perempuan-perempuan hebat yang masih melajang.
Karakter mereka rada-rada mirip: suka ngambek, merasa paling benar, suka marah-marah ga jelas dan sangat sensitif.
Saya sebenarnya ga mau sih langsung mencap mereka 'bermasalah karena belum menikah'. Kayanya picik banget mengaitkan karakter orang dengan status sosial. Tapi bagaimana dong, ini kejadian berulang kali. Selalu merasa tidak nyaman, dipimpin perempuan yang masih lajang.
Entah saya yang termakan stigma sosial masyarakat kita?, atau memang mereka-mereka inilah yang membuat stigma tentang diri mereka sendiri dengan berkarakter seperti saya sebutkan tadi?
Entah lah..
Yang jelas, saya tidak percaya kehebatan seorang perempuan dipengaruhi status sosial mereka. Perempuan bagaimanapun juga, memang hebat kok meski belum menikah ataupun sudah.
Bagaimana menurut anda..?