Thursday, September 22, 2011

Wartawan

Beberapa hari terakhir ini, kasus bentrok antara awak wartawan dan siswa SMU 6 menjadi perbincangan hangat di televisi maupun situs jejering sosial. Saya pribadi sebenarnya tidak terlalu tertarik dengan masalah ini. Bukan karena tidak memiliki corps de’etat tapi, aduh males banget sih orang lagi pusing mikirin Negara yang lagi digerogoti para koruptor, ini malah berantem.

Bentrokan ini sendiri berawal dari perampasan kamera milik salah seorang wartawan televisi oleh siswa SMU 6, ketika tengah meliput aksi tawuran. Tidak terima diperlakukan seperti itu, esok pagi para kuli tinta ini melakukan aksi damai di depan SMU 6. Entah bagaimana ceritanya (karena banyak versi yang beredar), aksi damai tersebut berujung pada tindak kekerasan oleh kedua belah pihak.

Menyikapi hal ini, sudah bisa ketebak semua media satu suara. Mereka menyebut para siswa yang salah. Sekolah dan para gurupun ikut kena getahnya. Mereka dituduh, tidak bisa mendidik para tunas bangsa tersebut. Sementara di pihak lain, dalam hal ini masyarakat umum, tidak sedikit yang justru membela para guru dan siswa SMU 6. “Waktu anak 6 dikeroyok anak 70, emang ada media yang beritain. Kenapa sekarang tiba-tiba masalah ini dibesar-besarin? Apa karena melibatkan wartawan?,” ungkap sebuah account di situs jejaring Twitter.

Mereka, yah.. masyarakat umum ini menilai, media terlalu berlebihan menyikapi bentrok antara awak mereka dengan anak-anak bau kencur itu. Mentang-mentang para kuli tinta tersebut punya wadah untuk menumpahkan kekesalan terhadap sesuatu, masalah kecilpun menjadi besar. Karena punya media, mereka bebas memberitakan dan membentuk opini sesuai yang mereka suka. Singkat kata, awak media lebay!

Lain cerita, kemarin siang saya mendapat telepon dari adik saya. Dia marah-marah karena kena tilang dan harus membayar denda Rp.500 ribu. Padahal persoalannya sepele, dia meminta form biru yang berarti mengaku salah karena telah melanggar lalu lintas. Setelah mendapat form itu, biasanya pemilik kendaraan langsung membayar denda di bank kemudian mengambil SIM yang ditahan. Namun ternyata polisi tersebut tidak suka. “Loh.. kamu kenapa tidak mau saya tawari form merah saja, biar ikut sidang. Jadi ya sudah, terima saja harus bayar segitu…” begitu kata si polisi itu.

Merasa dikerjai, adik saya meminta saya untuk menemui polisi tersebut. Dia berpikir, dengan membawa kakak yang seorang wartawan, apalagi dari stasiun televisi, pasti masalah apapun bisa diselesaikan dengan mudah. Waktu itu, saya bingung apa yang harus saya lakukan. Saya ingin membela adik saya, karena saya percaya dia memang tidak salah. Tapi saya ingin membela dia, dalam kapasitas saya sebagai seoranga kakak. Bukan wartawan yang seolah-olah ingin mengancam dengan cara membuat laporan tentang perilaku buruk para polisi tersebut, jika tidak memberikan apa yang kita inginkan. Tapi lagi… saya khawatir jika melepaskan embel-embel pekerja pers saya, apa tuh polisi mau dengar dan mengabulkan permintaan saya?

Jujur saja, hal ini bukan kali pertama kali terjadi. Sudah sering, baik saudara maupun orang yang tidak saya kenal, tiba-tiba menelepon atau mengirim pesan meminta bantuan dengan mengandalkan latar belakang pekerjaan saya. Ada yang minta tolong karena kena tipu. Ada yang merasa mengalami malpraktek dan sebagainya. Fiuh.. kalau sudah begini, dilemma sekali rasanya. Ingin membantu, tapi saya tidak mau dengan memanfaatkan media tempat saya bekerja.

Saya pribadi memang sering mendapat privileges dari pekerjaan saya sebagai wartawan. Saya tidak pernah ditilang, saya sering mendapat kemudahan dan sebagainya. Tapi sejujurnya, saya tidak mau seperti itu. Saya tidak mau sengaja menggunakan seragam saat mengurus pembuatan SIM. Tapi saya tahu, jika saya tidak menggunakan seragam itu, saya akan dipersulit.

Tapi saya juga tidak mau, orang-orang yang bekerja di media menggunakan kekuatan mereka untuk mengambil keuntungan pribadi semata. Saya tidak mau, orang-orang berpikir media melakukan aksi ‘balas dendam’ dengan pemberitaan yang memojokan anak-anak SMU 6. Padahal sejujurnya, bocah-bocah ini memang harus diberi pelajaran, karena aksi kekerasan mereka bukan sekali ini terjadi. Kebetulan saja yang kena awak media.

Saya ingin, para jurnalis di Indonesia tetap menjadi corong yang membawa perubahan. Saya tidak mau awak media ditunggangi. Sementara, saya juga tidak mau mereka sendiri, berbuat semana-mena karena punya kuasa melalui media. Saya mau semua berjalan apa adanya.

Tidak ada privilege bagi seorang wartawan, dimanapun dia berada. Semua sama. Saya tidak mau wartawan ditakuti karena pekerjaan mereka. Saya juga tidak mau, pekerjaan kita dipandang sebelah mata. Menilai bahwa integritas kita bisa dibeli. Kalaupun ada yang seperti itu, jangan pernah berpikir semua awak media sama.

Hmm.. klise sih, apa mungkin yah bisa seperti itu? Karena saya pun sebenarnya sudah terjebak dalam kepentingan besar yang memanfaatkan media tempat saya bekerja. Untungnya apa yang saya kerjakan sejauh ini, masih sejalan dengan hati dan pikiran saya. Jika tidak, hmm… mungkin saya harus siap-siap angkat kaki.

Monday, September 12, 2011

Unsatisfied Australia















Waktu masih pegang program “Bukan Jalan-Jalan Biasa”, salah satu tokoh yang saya incar untuk diwawancarai adalah Mantan Perdana Menteri Australia, Kevin Rudd. Meski sekarang dia hanya seorang Menteri Luar Negeri, namun menurut saya banyak cerita menarik tentang tokoh ini, terutama dikaitkan dengan Indonesia. Memang, beberapa kali Ia menyatakan kesediaan untuk diwawancara. Sayang bukan di negerinya sendiri, melainkan disela-sela lawatan ke Indonesia. Ga nyambung dong, dengan tema besar program yang saya pegang

Lama tak berbalas, tiba-tiba suatu pagi saya mendapat surat elektronik dari kantor Rudd. Isinya menanyakan, apakah saya masih tertarik untuk mewawancarai politisi dari partai Buruh itu. Reaksi saya saat itu biasa saja. Karena, tim untuk program yang sama, baru saja kembali dari Australia. Agak mustahil kembali ke negara yang sama, untuk liputan yang sama pula. Lagipula, saya kan sudah tidak lagi pegang program ini.

Ketika surat elektronik itu saya sampaikan ke Produser program tersebut, diluar dugaan ternyata saya diminta untuk menerima undangan tersebut. Nah, saat ini nih… Udah ga kebayang deh rasanya. Seneng, takut, khawatir semua bercampur jadi satu. Seneng karena, hey… I’m going to Australia!!! Huhu… ngebayangin ajah jarang-jarang, tiba-tiba tuh penawaran sudah di depan mata. Takut, tidak bisa memenuhi harapan mereka. Iyah, mereka… bos-bos itu, yang belakangan saya ketahui agak kecewa dengan hasil liputan Australia sebelumnya. Khawatir karena bahasa Inggris saya yang menyedihkan ini. Apa saya bisa yah? Berulang kali mikirian ini mampir di otak saya. Singkat cerita, yah.. saya tidak PeDe!

Hal ini diperparah dengan rekan kerja saya aka camera person yang base on pengakuan teman-teman yang sudah pernah kerja bareng dia, bukan rekan kerja yang asik. Kerja sama dia, kita dituntutu harus sabar dan penuh pengertian. Bukan hanya dia saja sih, mengurus budget, tiket dan alat juga selalu menuntut kesabaran serta pengertian tingkat tinggi. Apalagi untuk assigement luar negeri, semua proses, bener-bener bikin emosi jiwa.

Oiya, saya juga sempet sedih waktu tahu orang lain yang mewawancarai Kevin Rudd. Bukan saya. Katanya sih, biar lebih bagus. Huhu.. padahal saya butuh Rudd untuk portfolio saya. Tapi mau bagaimana lagi, show must go on kan. Yang penting saya bisa ke Australia. Kesempatan jarang datang dua kali kan. Jadi ga perlu juga lama-lama sedih. Iyah kan?

Berangkat…

Tanggal 22 Juli lalu, berangkat juga saya ke Australia. Kota pertama yang saya tuju adalah Perth. Kesan pertama, standar. Nothing special. Liputannya pun garing. But, still.. I did my best. Hari keempat, kita langsung cabut ke Adelaide. Kota dimana saya, eh.. boss saya akan mewawancarai Kevin Rudd. Perlu waktu sekitar 3 jam perjalanan dari Perth yang terletak di Barat Australia, menuju Adelaide yang berada di Selatan. Perbedaan waktu antara dua negara bagian ini 2,5 jam.







Saya langsung jatuh cinta dengan kota ini. Meski kata orang-orang sini, Adelaide membosankan, tapi saya sukaaaa… Adelaide. Tidak terlalu ramai dan banyak bangunan bagus. Dengan bantuan konsulat Jendral RI di Sydney, kami menginap di …Sebuah apartement dan hotel yang bagus banget menurut saya dan sesuai dengan budget kami. Yang terpenting lagi, apartemen ini terletak tidak jauh dari hotel Intercontinental, tempat saya membuat janji dengan Kevin Rudd, keesokan pagi.


Urat-urat saya yang dari kemarin menegang, sedikit mengendur selama dua hari kedepan. Pasalnya, saya akan bebas tugas. Yups, di Adelaide ini bos saya yang akan pegang kendali. Dia juga tiba hari ini dan kembali ke Jakarta, keesokan hari setelah wawancara selesai. Yah.. maklum bos, datang belakangan pulang duluan. Hehe..







Wawancara dengan Kevin Rudd berjalan sangat lancer. Nih orang humble banget. Nice.. beda sama pejabat-pejabat kita, yang rata-rata ngebossy abis. FYI, meski dia mantan PM, ga ada tuh satupun penjaga yang jagain dia saat wawancara . Padahal wawancara di luar loh. Di belakang hotel Intercontinental. Bahkan dia Cuma menggunakan mobil sedan biasa saat meninggalkan hotel. Dan lagi-lagi ga pakai iringan!

Semakin Berat *yawn

Pagi-pagi di hari ketiga di Adelaide, saya dan campers sudah nongkrong manis di terminal domestic Adelaide. Tujuan kami selanjutnya, Alice Spring. Salah satu kota gersang di Australia. Kota ketiga, dari empat kota yang akan kami singgahi. Badan rasanya sudah remuk semua. Cape. Suasana kerja, juga semakin tidak nyaman. Tidak nyaman saat melihat begitu semangatnya nih campers kerja, saat ada bos. Giliran sama saya, ampuuunnn deh. Tapi saya tetap baik. Tetap perhatian, bahkan tidak pernah terlewat membuatkan dia sarapan. Pokoknya menahan diri untuk kelancaran semuanya.







Apalagi di Alice Spring ini adalah tugas terberat saya, meliput soal kehidupan suku Asli benua Australia. Saya diminta melakukan ini, karena tim sebelumnya gagal. Pulang, tanpa secuilpun cerita tentang orang-orang Aborigin Australia. Huhu.. saya juga sebenarnya juga ga yakin bisa sih. Isu soal orang-orang Aborigin ini terlalu kompleks. Dan tak satupun yang saya kuasai. Berbekal seorang fixer asal Melbourne dan tayangan Tropic Capricorn milik Simon Reeve, ya sudah… saya kumpulkan tenaga yang masih tersisa untuk menyelesaikan tugas ini.

Secara umum, Alice Spring adalah kota yang menarik. Kita bisa menikmati gurun dan bentangan alam yang cantik. Terlebih saat menjelang senja. Sayang disini semua serba mahal. Dan stigmatisasi soal orang-orang Aborigin yang banyak berkeliaran di kota ini, juga sedikit mempengaruhi mood kerja saya.

Yah.. mayoritas masyarakat Aborigin memang hidup menganggur. Di siang hari, mereka hanya duduk santai, sambil menikmati sinar matahari. Di malam hari, mereka juga santai sembari menenguk botol-botol berisi minuman beralkohol. Hal ini yang memicu tingginya angka kriminalitas, kekerasan pada anak-anak dibawah umur dan sebagainya.








Bagi saya, pemerintah Australia sudah banyak berbuat. Mereka memberikan basic card yang bisa digunakan untuk belanja sehari-hari secara cuma-Cuma, memberikan perumahan dengan sistim sewa murah, pendidikan dan sebagainya, tapi kehidupan para suku asli benua ini tidak juga berubah. Entah dimana yang salah. Mengutip kata-kata Kevin Rudd, memang pemerintah Australia telah berbuat banyak. Tapi mereka terlambat, mengantisipasi apa yang terjadi pada penghuni awal benua terkecil di dunia ini akibat ekspansi besar-besaran para imigran, selama puluhan tahun.

Hello Sydney…

Setelah berjibaku lahir dan bathin, menghadapi tugas yang berat, rekan kerja yang juga ga kalah berat, Jumat sore akhirnya saya tiba di SYDNEYYY…!!!! Huaaa.. seneng banget. Langsung hilang nih semua pegel dan kesel bisa berada di kota metropolis yang diisi beragam rupa, bahasa dan budaya ini. Hari pertama saya menginap di hotel Formule, tidak jauh dari bandara.

Tentu saya tidak menyia-nyiakan waktu untuk segera mengeksplorasi kota cantik ini. Namun sayang, karena banyak difasilitasi konsulat, kami termaksa memenuhi permintaan mereka untuk meliput sebuah pengajian orang-orang Indonesia disana. Fiuh, mau bagaimana lagi. Mereka sudah baik, mau membantu. Masa di minta tolong segini saja tidak mau. Lagipula, siapa tahu bisa buat nambah-nambahin materi. Yasudah, sebelum gila-gilaan Jumat malam di Sydney (cieehhh..) kami akhirnya, meliput pengajian dulu. Hehe..

Selang setengah jam meliputa pengajian tersebut (iyah lah, ngapain lama-lama hehe..), kami segera meluncur ke pusat kota Sydney. Apalagi, kalau bukan untuk bertemu dengan the phenomenal, Opera House!!! Sydney terasa sangat hidup di Jumat malam. Muda-mudi dengan pakai rapih, hilir mudik ditengah-tengah kemacetan. Yah kemacetan dimana-mana, tapi.. saya tetap menikmatinya.


















Nah.. ditengah euphoria bertemu si Opera House ini lah, si camera person tiba-tiba bertingkah. Menyulut amarah, untuk persoalan yang tidak seberapa. Akumulasi kekesalan saya selama ini, akhirnya pecah juga malam itu. Selama ini, saya sering mendapat wanti-wanti tentang makhluk ini. Mereka bilang, sifatnya ajaib. Ajaib bikin panas hati. Akhirnya saya mengalami sendiri. Dan Sydney seketika menjadi buruk rupa. Saya mengibarkan bendera perang. Tidak mau lagi berteman, dengan orang yang tidak tahu caranya berteman.

Perjalanan saya di Australia, sangat menyengkan. Saya suka tiap apartemen yang kami tempati. Saya bersyukur bertemu orang-orang yang banyak menolong dan baik hati. Saya tidak percaya, bisa menemukan pengalaman seperti ini. Tapi rekan kerja saya yang satu itu, benar-benar merusak segalanya.

Fiuh.. semoga saja ada kesempatan kedua bagi saya, untuk melihat Australia dalam kondisi yang lebih baik lagi. Amiinnn…

Monday, May 9, 2011

Huhu..

Finally, dua orang sahabat saya akhir tahun ini resmi berangkat ke Inggris. Mereka dapat beasiswa Chevening. Begitu dengar, saya langsung lemes. Sedih dan senang. I'm sooo happy for their both. Tiap hari denger curhat mereka soal mimpi. Tiap hari liat usaha mereka untuk meraih mimpi itu. Dan sekarang, cling... that dream coming true. Gilak yah...I'm living with super people.

Tapi tentu saya sedih. Karena pada dasarnya mimpi mereka adalah mimpi saya juga. Hanya bedanya, mereka serius mengejar, mungkin sampai ke negeri Cina. Sedangkan saya masih mengejar stok ASI dan deadline. Hehe... Yes, never ever think that I'm not happy with my life. I'm super happy. Nothing regrets. Rejeki ga mungkin salah kamar selama kita mau berusaha. Yah, saya hampir setahun ini dilimpahkan beragam rizki. Jusuf Abiyyu Daniswara, suami yang baik dan mencukupi semua kebutuhan saya dan pekerjaan yang memungkinkan saya melihat dunia.

Lalu kenapa sedih? Karena saya ingat lagi sama mimpi itu. Inget dulu terobsesi sampe kaya orang bego. Inget begitu banyak biaya dan waktu yang terbuang tapi ga berhasil-hasil. And the saddest part is, I gave up! huhu...

Ah sudah lah... ga usah dibahas lagi. Intinya sekali lagi, I'm happy for all of my best friends! U guys totally deserve to get it. And I probably the next. hehe.. AMIN!

Love you Pak Gentur and Baby Danis ;)

Thursday, February 24, 2011

we love you kid!














Waahhh… sepi banget nih blog. Ga ada yang punya yah? ;) Iyah nih, udah lama banget ngga ngeblog. Padahal banyak hal yang ingin saya tulis terutama 8 bulan terakhir ini when I officially being mother of handsome-baby, Jusuf Abbiyu Daniswara, hehe…

Yups, pengalaman saat mendengar kata pertama dia, pengalaman saat mulai tengkurap sendiri, mulai makan dan pengalaman saat sakit pertama kali yang bikin panic tujuh turunan, adalah pengalaman berharga yang ingin sekali saya abadikan. Syukur-syukur dibaca orang dan dijadikan referensi.

Soalnya saya sendiri menjadikan, pengalaman ibu-ibu yang saya temui melalui mesin mencari google, sebagai referensi dalam merawat dan membesarkan Danis. Habis gimana lagi, kalau sama Dokter bawaanya suuzon mulu. Hehe… Sudah ga keitung deh berapa kali saya ganti Dokter Spesialis Anak (DSA).

Tapi berkat ketengilan saya, alhamdulillah Danis baru kena obat setelah dia berumur 7 bulan. Itupun hanya Paracetamol (4 kali kasih) dan obat batuk (2 kali kasih) karena flu. Alhamdulillah juga, sampai saat ini Danis masih full ASI dan full home made Makanan Pendamping Asi. Walaupun badannya kurus dan diprotes DSA barunya, tapi ya sutra lah.. berat badanya sekarang masih normal kok dan yang penting anaknya sehat!

Sementara saya sendiri, semua tantangan dan cobaan dalam membesarkan Danis, Insya Allah membuat saya menjadi sosok baru yang Insya Allah lebih baik. Saya belajar untuk mengendalikan marah dan menjaga hati dari penyakit sirik dan dengki. Saya mencoba untuk tetep rendah diri, walaupun kadang kebablasan jadi ga percaya diri. Hihi… Saya mulai menghindari konflik, bukan karena saya tidak mahir memanagenya, tapi saya tidak mau ada yang sakit hati karena sikap keras saya.

Saya belajar untuk ikhlas, meski susahnya minta ampun. Ikhlas dalam mengerjakan apapun. Ihklas disuruh ini-itu, meski sering merasa diperlakukan tidak adil terutama dalam hal perkerjaan. Tapi hey… saya masih bekerja loh. Mendapat penghasilan dan berinteraksi dengan orang-orang hebat. Apalagi yang mesti saya keluhkan? Yaah.. walaupun kadang kesel juga sih jika pekerjaan tidak sesuai harapan. Tapi, hey… apa sih di dunia ini yang selalu sesuai dengan kemauan? Jadi buang-buang waktu, jika harus saya keluhkan.

Dari semua hal tersebut, tujuannya saya sebenarnya cuma satu, agar Danis tidak mewarisi sifat buruk saya dan suami. Agar Danis tumbuh menjadi pribadi yang baik dan menyejukan. Jadi, cukup hidung pesek saya saja yang dia tiru. ;)

We love you kid!