Saturday, July 5, 2008

Avonturir


Untuk kesekian kali aku terbangun nyaman di dalam pelukan lelaki Berwajah tirus itu. Aroma tubuhnya terasa tenang menyusup kedalam rongga hidungku. Murni aroma tubuh, pheromone, tanpa gangguan dari aneka minyak wangi apapun namanya itu.

Untuk kesekian kali juga kupandangi wajahnya yang dipenuhi garis-garis kasar sebagai bukti kerasnya hidup yang selama ia jalani. Terus kupandangi hingga ke lekuk bangir hidung itu sembari menanti ia terbangun dan segera mengosok-gosokan dengan manja hidungnya tadi ke hidungku lantas berujar, “selamat pagi sayang.”

Duh kamu, kenapa harus selalu aku yang terlebih dulu bangun. Merasakan hangat sang mentari yang tanpa malu-malu menerebos masuk ke kamar kita. Lalu, wajah tirus mu pun lebih mudah untuk kupandangi. Wajah yang lelah. Entah karena diskusi panjang kita tentang hidup, mimpi sampai beragam cerita konspirasi yang mewarnai berbagai peristiwa di dalam negeri atau karena percintaan panjang kita semalam.

Sayang… kamu memang istimewa. Bagaimana tidak, dari awal kita bertemu, ditengah hiruk pikuk jumpa wartawan dengan Kepala Divisi Humas Mabes Polri yang berkicau panjang soal rusuhnya demo mahasiswa menolak kenaikan bahan bakar minyak itu, kamu sudah membuatku jatuh cinta. Kalau kata orang, cinta pada pandangan pertama.

Seingatku, kamu mencecar Kadiv Humas berperut buncit itu dengan beragam pertanyaan yang menyudukan. Kamu buat ia mengaku, bahwa Polisi juga turut bertanggung jawab atas kerusuhan itu. Dan semua mata tertuju padamu. Apalagi kaum perempuan seperti aku. Kagum akan kepintaraanmu, juga wajah tampan yang mengalir darah campuran Pakistan dan Jerman.

Enam tahun menyandang status sebagai kuli tinta memang membuatmu lebih tahu segala. Ku pikir, aku sudah termasuk orang yang tahu banyak. Sampai kadang dengan sombong, ku sudutkan orang-orang yang coba membantah apa yang ku bilang. Tapi sejak mengenalmu, aku tahu aku bukan apa-apa.

Seperti minggu lalu misalnya, sebelum kita bercinta, kamu bercerita tentang kegundahanmu akan unjuk rasa anarkis di depan Dedung DPR/MPR yang berlanjut ke kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Saat itu, kamu bergumam sendiri, “Settingan siapa ini.? Mengapa harus ada lagi aksi demonstrasi yang jauh dari kesan manusiawi.”

Padahal menurutmu, Muchdi baru saja ditangkap. Pembunuh Aktivis Ham, Munir, mungkin sebentar lagi terungkap. Mengapa harus ada peristiwa baru, selang sehari setelah Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menggelandang salah satu mantan petinggi BIN itu.

Ku tanya balik, “menurut kamu ini settingan siapa sayang,”? dan dahi mu pun berkerut. Seperti biasa, teori-teori konspirasi yang selalu ada di otakmu membuka diskusi panjang kita melintasi malam. “Banyak sebab. Tapi yang jelas penunggangnya avonturir. Yang ingin SBY-JK lengser dengan demosi terhadap polisi. Pintu masuknya lewat polisi sayang,” begitu jawabmu.

Avonturir? Hmm… Binatang apa itu. Sepanjang karirku, belum pernah aku dengar istilah itu. Banyak kisah-kisah konsiprasi yang yang mengendap di otakku, tapi kok aku tidak tahu untuk yang satu ini. Lalu… apalagi itu demosi? Apa hubunganya dengan kematian Munir atau aksi Anarkis para mahasiswa-mahasiswa tadi. Agak malu bertanya, tapi aku harus tahu. Kucumbu dia dulu, baru ku lontarkan pertanyaan itu, “avonturir apa sayang.?”.

Bukan menjawab, kamu hanya tersenyum. Tidak tahu apa yang lucu. Tapi biar lah, itu konsekuensi logis yang harus diterima makhluk bodoh seperti aku. “Avonturir itu orang yang mengambil kesempatan dalam sebuah situasi sayang. Mereka penelikung,” jawabmu pelan.

Kemudian tanpa ditanya, penjelasan berlanjut ke istilah demosi. Menurutmu, demosi sama dengan tidak mempercayai lagi untuk menduduki posisi startegis. “Karena aktornya Polisi sayang,” tambahmu memberi alasan. “Bisa saja karema terkait kegiatan polisi belakangan ini.. yang tengah asyik dengan kasus Munirnya. Hmm.. tapi bisa iya bisa tidak yah.”

Aku masih bingung. Masih banyak pertanyaan menggantung di tenggorokan. Tapi kamu malah mencumbuku. Tak perduli atas segala keingintahuanku. Sayangnya lagi, bercinta denganmu memang jauh lebih mengasyikan. Daripada kisah konspirasi picisan ini. Maka bergumulah kita dalam asa. Tak ada lagi pertanyaan. Hanya kepasrahan yang sejenak meninggalkan kamu dan aku dari realita yang ada. Kamu dan aku sayang. Hanya kamu dan aku. Bergerilya menembus ruang dan waktu lalu kembali dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh.

Entah mengapa kamu begitu mahir bercinta. Apa karena kecerdasan intelektualmu yang membuatku begitu bergairah. Atau memang karena kamu seorang pemuja jurus-jurus Kamasutra? Atau mungkin kombinasi dari keduanya. Lucu memang, aku lebih bergairah dengan lelaki pintar dari pada seksi.

Meski aku tak suka darah Pakistan itu mengalir di dirimu, karena kamu terlihat tampan menjadi seorang Jerman, tapi aku begitu tergila-gila pada bibir penuh dan hati setengah dewa itu. Apalagi karena tiap bait kata yang muncul dari bibirmu adalah sebuah pencerahan dan pengetahuan baru bagiku.

Setelah peluh mengering, cerita konspirasi itu kembali mengerutkan kening. Ku tanya kamu, apa ini pengalihan isu sayang? Kamu pun bangun dari pelukan, langsung menyambar sebatang rokok dan menyulutnya tak sabar. Kamu bilang, “bukan sayang, tapi ada yang tidak senang dengan upaya polisi mengungkap kasus Munir.”

“Makanya, ada pihak yang mencoba menyetting untuk membentrokan polisi dengan mahasiswa. Sehingga orang akan tidak senang dengan polisi,” cetus mu panjang lebar.

Kemudian teori mu tentang konspirasi dalam negeri bergulir lagi. Kamu katakan, dengan settingan tersebut ujung-ujungnya polisi bisa di demosi. “Tapi bisa iya, bisa tidak. Masalahnya kalau sampai ada yang terpancing dan ada yang jadi korban, misalnya mahasiswa mati tertembak polisi maka bisa seperti ‘98 lalu. Orang sudah gak percaya pemerintahan.”

“Lalu sayang, kira-kira orang yang tidak senang itu siapa,”? tanya ku kembali. “Ya avonturir itu tadi,” jawabmu. “Bisa musuh politik pemerintah hingga sampai mereka yang tidak ingin kasus Munir terungkap. Dan siapa mereka? ya harus dibuktikan dulu.”

Hisapan terakhir habis sudah. putung rokok itu kamu koyakan tak berdaya hingga tak ada lagi bara. Kamu kembali kepelukan ku, melanjutkan cerita-cerita tak masuk akal itu. “Bisa banyak yang main sayang. Tapi coba kamu jawab ini,” lanjutnya, “itemukan sebuah granat aktif di UNAS saat pecah bentrok polisi VS mahasiswa. Nah siapa yang naruh granat itu disana? polisi dinas tidak bawa granat sayang.”

“Mahasiswa juga tidak mungkin punya. Yang menaruh granat di sana berharap granat itu dilempar mahasiswa atau polisi dan blar..... jatuh korban. Apalagi kalau korbannya mahasiswa, maka orang-orang akan marah besar,” begitu, bunyi teori konspirasimu.

“Polisi sudah memperkirakan itu dan tak ingin terpancing. Makanya cenderung membiarkan mahasiswa mengamuk. Nah, tapi kan mahasiswa juga harus sadar kalau ngamuk ngawur gitu orang tidak akan simpatik,” keluhmu.

Lalu ku eratkan pelukan di tubuh kurusnya itu. Mencoba menenangkan segala gundah dan kegelisahan, meski aku tak punya solusi atas segala persoalan ini. Ku kecup keningnya lembut dan kamu pun menarik nafas panjang mencoba menikmati kecupan tadi.

“Lantas, bagaimana kamu membuktikan teori konspirasimu itu sayang,? “tanya ku. “Apa akan kamu bagi dengan semua orang di negeri ini melalui gerosan tinta cetak di media, tempat kamu bekerja,” sambungku dalam hati.

“Kemarin Kapolri berbicara dengan wartawan. Dia bilang demo lalu tidak murni digerakan mahasiswa. Tapi dia tidak secara eksplisit megatakan ada yang menunggangi,” ucap kamu menjawab pertanyaanku. Namun sayang menurutmu, mantan Kapolda Jawa Timur itu tidak banyak memberikan informasi.

“Tapi ketika yang lain pergi, dia menarik tanganku. Dia berbisik bahwa sang designer sudah teridentifikasi. Dan terbunuhnya mahasiswa Unas itu memang disengaja terjadi. Agar perang itu, pecah sendiri. Hanya tinggal tunggu waktu bagi polisi untuk menangkap dia. Begitu katanya.”

Darahku mendesir hebat. Entah karena kepiawaianya mendapat informasi-informasi dari sumber asli atau karena teori-teori konspirasi ini yang makin lama makin tidak masuk akal. Bayangkan saja, mana ada orang yang tega membunuh untuk memuluskan rencannya. Bahkan yang menjadi korban adalah Mahasiswa. Benar-benar tidak masuk akal bukan?

Namun seperti biasa, kamu selalu bisa meyakinkanku akan kebenaran teori itu. kamu bilang seorang Kapolri tak mungkin bicara tanpa ada bukti. “Tapi sialnya, dia bilang informasi itu off the record. Aku bisa apa,” imbuhnya meyakinkan.

Tapi benar saja, selang beberapa jam setelah percintaan kita, setelah diskusi yang bikin pusing kepala, sebuah pesan singkat masuk ke telepon selularku. Ternyata dari redakturku. Begini bunyinya: “Kepala BIN bilang demo kemarin ditunggangi. Tolong cari tahu, siapa orang itu,”. Hmm.. aku bergumam sendiri. Hebat sekali belahan jiwaku ini. Selamat sayang, teori konspirasimu nyaris terbukti. Tinggal sekarang, aku mencari tahu benar tidak sang designer membunuh anak muda itu.

****

Sudah jam 9 lebih sedikit. Kamu belum bangun juga. Aku semakin tidak sabar, menunggu dengan harap-harap cemas kapan kamu akan segera terbangun dan menggosok-gosokan hidungmu ke hidungku sembari berujar, “selamat pagi sayang.” Sesuatu yang selalu aku rindu dari kamu. Duuh.. kenapa bisa selelap itu sih tidurmu. Tak bergeming meski sudah hampir 15 menit tak henti-hentinya kupandangi.

Dan tiba-tiba, telepon selularmu berbunyi. Mengantar segenap harap kamu akan terbangun dan segera menggosok-gosokan hidungmu ke hidungku sembari berujar, “selamat pagi sayang.” Ahaa… kamu memang bangun. Bahagia rasanya. Seperti seorang bayi yang mendapat biskuit kegemaranya. Pasti kamu langsung menggosok-gosokan hidungmu ke hidungku sembari berujar, “selamat pagi sayang.”

Tapi tidak ... Pujaan hatiku tidak melakukan itu. Ia berlari ke kamar mandi dengan telepon yang menempel erat dipipi. Harap-harap cemas menunggu, kembali mengusik hati. Tuhan.. jangan lagi. Kamu janji, dia akan bersamaku selalu. Tidak hanya malam ini, tapi juga lusa dan lusa hingga maut memisahkan kita. Jangan seperti ini lagi Tuhan. Jangan…. Dia milikku.

Ditengah rintihan dan doaku, kamu pun kembali. Rasa cemas itu, masih membunuhku perlahan. Menanti apa yang akan terjadi, setelah malam yang begitu membahagiakan ini. “Ini hari Selasa. Aku harus beli sabun mandi untuk anakku. Aku juga harus pulang cepat. Karena tadi malam aku bersamamu. Nanti aku telepon kamu.” Dan belahan hatiku, pergi berlalu. Seperti pagi-pagi yang lalu. (meita annissa)