Wednesday, February 13, 2013

Loker

Beberapa hari lalu saya sempat marah-marah sama bagian kesekretariatan Divisi News. Hal sepele sih, masalah Loker. Tapi menurut saya konyol dan ga penting banget. Jadi gini ceritanya, atas nama penataan pemilik loker kantor yang menurut mereka sekarang banyak yang tak bertuan, maka akan dilakukanlah pemutihan. Yaitu semua loker akan diganti kuncinya, lalu dibagikan ulang. Kalau nanti kurang, maka akan dibuatkan loker-loker baru.

Maka ditempel lah pengumuman, bahwa ditanggal sekian semua loker akan dibobol untuk diganti kunci baru. Jadi diharapkan yang sekarang memiliki loker untuk segera mengeluarkan barang-barangnya.

Well, dari baca pengumuman ini ajah udah bikin saya emosi. Harusnya di data dong yang sudah punya loker siapa, dengan minta mereka melapor. Nah kalau dalam jangka waktu sekian tidak ada yang melapor, baru dibongkar. Karena apa jaminannya kita nanti akan dapat loker lagi?.

Untuk itu saya langsung menyampaikan hal ini ke supervisor bagian kesekretarian News. Begitu dengar penjelasannya, saya langsung tambah emosi. “Iyah mbak, sesuai keputusan direksi loker akan diputihkan. Lalu nanti dibagikan lagi. Tapi diprioritaskan Presenter, Produser lalu kebawah.” Tuh emosi kan. Bener-bener ga ada jaminan saya bakal dapat loker lagi.

Karena komplain saya tidak ditanggapi dan sebagai bentuk penolakan saya terhadap keputusan Direksi (yaela ga mutu banget direksi ngurusin loker), saya tidak mengeluarkan barang-barang di loker. Bahkan saya menambahkan selembar kertas bertuliskan nama saya disitu dan nomer telp.

Dannn.. Senin lalu ketika saya ingin menyimpan Hard Disc, loker saya sudah tidak bisa dibuka lagi. Pak satpam yang duduk tak jauh dari lorong loker kasih tahu kalau Jumat kemarin semua kunci loker sudah diganti.

Maka emosi saya memuncak. Saya samperin kubikal kesekretariatan News untuk (lagi-lagi) meminta penjelasan. Mbak-mbak sekret yang meski berjilbab, tapi mukanya jutek kembali menjelaskan penjelasan yang sudah saya dengar sebelumnya. “Iyah mbak, kan sudah dikasih tahu. Kunci loker diputihkan. Nanti dibagi ulang, tapi kita prioritaskan Presenter, Produser, bla..bla..bla…,”

Kombinasi kekesalan dan muka jutek si mbak sekret, sukses bikin saya ngomel-ngomel tanpa titik tanpa jeda. “Eh mbak, lo pikir cuma presenter, produser… yg paling banyak kerjaan disini. Ini lo liat gw bawa hard disc segede gaban mau ditaro dimana?” celoteh saya penuh amarah.

“Iyah mbak, tapi itu udah keputusan direksi,” jawab dia dengan muka yang tambah jutek.

“Eh, mana bos lo.. gw ngomong sini. Ngaku kerja di media, tapi masih ajah diskriminatif,” lanjut saya sambil berlalu karena saya tahu dimana ruang bosnya si embak. Embak itupun mengikuti saya dari belakang.

Sesampai diruangan si bos yang tadinya saya sudah mau cuap-cuap lagi, ehhh… jadi mencair karena si bos ini baiiikkk… sekali menjelaskan duduk perkaranya. Beda banget deh sama anak buah. Dia menjelaskan dengan senyum dan saya balas menjelaskan dengan wajah yang masih menahan kesal. “Iyah dong bang, gw kan harus nyimpan barang-barang tim kaya hard disc gini. Masa mau gw bawa-bawa,”

Mendengar ocehan saya, si bos langsung memerintahkan para anak buah untuk memberi saya kunci baru. Dan muka yang ga ikhlas karena saya akhirnya bisa mendapatkan loker, si embak sekret pun memberikan kunci dan mengantarkan saya ke gudang tempat barang-barang lama disimpan.

Well, what I'm trying to say base on tulisan ini: Udah deh, masa ga ada hal lain yang bisa diurusin. Bukannya merasa first class, tapi sebagai supporting (namanya juga supporting boookk..) orang-orang ini harusnya mempermudah kerja kita sebagai user. Dan FYI yah, kejadian model-model kaya gini bukan pertama kali terjadi. Sudah sering banget. Tapi yah mau bagaimana lagi, konsekuensi kerja di perusahaan besar. Huhu..

Udah ah, segitu dulu nyampahnya. *yawn..

Friday, February 1, 2013

Sooo... Married Life!


Berapa kali dalam seminggu anda bertengkar dengan pasangan? Kalau saya, hadeuuhh... ga keitung deh berapa jumlahnya. Hehe... At the first time, I thought there’s something wrong with my married life until I hangout with my girls.

Yups, beberapa teman yang saya lihat bahagia-bahagia saja, ternyata kehidupan pernikahannya tak jauh berbeda dengan saya. Awalnya, saya (dan juga mungkin mereka) agak tabu membicarakan tentang berbagai persoalan yang dihadapi bersama pasangan. Well, it’s too personal. You shouldn't share to anyone include your girls.



Entah siapa yang memulai, sampai akhirnya satu persatu kami mulai ‘mempergunjingkan’ pasangan kami. Hehe... and Its feel soooo, legaaaa. Bahkan yang awalnya kami saling meratapi kesialan kami karena punya pasangan yang juga tak kunjung mengerti, berakhir dengan tawa panjang karena merasa ‘ihh.. konyol juga yah. Masa gara-gara itu jadi sebel sama suami.’

Well, saya sih sebenarnya yang tertawa panjang. Abis masalah yang teman-teman saya hadapi ini lucu-lucu banget. (Huhu.. maafkan yah temanku, kalau aku tertawa diatas penderitaan mu, hehe...).

Ada seorang teman yang mati-matian menuntut persamaan hak dan kewajiban dalam berumah tangga, so called: Equal Partner. Dia bilang : “Enak ajah semua urusan rumah gw yang handle, gw kan juga kerja. Coba kalau gw ga kerja, emang dia sanggup ngelunasin cicilan macem-macem sendirian. Jadi dia juga harus ikut pusing dong kalo anak lagi susah makan, atau besok mau masak apa. Dia juga harus ngertiin gw dong, jangan kaya bocah mulu yang semua karakter dia harus dingertiin,” Nah, jadi masalah yang dihadapi dia sama suaminya yah.. ga jauh-jauh dari masalah kesetaraan hak dan kewajiban ini. Hehe..

Tapi ada juga yang justru sebaliknya: “Ah.. apaan tuh Equal Partner. Gw mau suami gw itu di depan, jadi pemimpin. Jangan apa-apa gw, semua hal gw. Masa mau ambil keputusan dirumah, mesti gw juga...” jelas teman saya, berapi-api.

Ada juga teman yang menemui kenyataan pahit kalau suaminya berhubungan diam-diam dengan mantan pacarnya. Si suami sih ngeles, bilangnya ga ada maksud apa-apa hanya sekedar ngobrol saja. “Hellooo... obrolan apa coba yang lo lakuin sama mantan lo? Mengenang masa lalu? Hueekk... Gw mah, walau kata punya banyak kesempatan berhubungan sama mantan karena satu kampus, satu tipe kerjaan dan satu tongkrongan, tetep ajah gw ogah kontak-kontakan. Dan gw bingung deh, tuh cewek kan juga udah punya laki. Kalau dia bete sama lakinya, jangan cari pelarian ke laki orang dong,” cerita teman saya dengan semangat empat lima. Hehe..

Ternyata yang dialami teman saya tadi juga terjadi pada teman saya yang lain. Berawal dari ketidaksengajaan menggunakan google search untuk riset tugas kantor, teman saya ini menemukan kalau ada suaminya pernah ‘stalking’ cewek yang dulu dia taksir berat. “Bener-bener deh cowok tuh sejago-jagonya ngumpetin, tetep ajah brengseknya ketauan. Apa emang udah karakter cowok yah yang sulit banget menjaga komitmen bersama,” seloroh teman saya tadi.

Untuk dua kasus diatas, saya ga berani cengengesan deh. Kondisinya memang bikin sebel tuh.

Ada juga teman yang tengah berjuang untuk memperbaiki kualitas hidup mereka dengan punya rumah. Alhasil, politik uang ketatpun diterapkan. Sampai suatu hari sang suami mendapat fasilitas gadget baru dari kantor dan langsung diminta sama si istri karena gadget yang dia miliki sudah kuno berat. “Tapi you know apa yang terjadi, gw ga dikasih make tuh henpon dengan alasan takut ketauan kantor. Nyebelin banget ga sih tuh orang. Gw udah mati-matian nahan diri buat ga boros demi bantu dia beli rumah, eh..gw minta tuh henpon ajah ga dikasih. Padahal kalau gw mau, bisa ajah gw beli gadget yang gw incer dari lama. Tapi demi bantu dia, gw rela. Padahal beli rumah kan bukan urusan gw,” terang teman saya ini sambil mengunyah Beef mushroom burgernya Burger King.

Well, mendengar cerita-cerita teman-teman saya ini ada perasaan lucu sekaligus sedihnya juga sih. Lucu karena, ada-ada ajah yah masalah mereka. Sedih karena cape banget kayanya harus tiap hari menghadapi konflik dengan pasangan. Padahal urusan lain kan ga kalah menguras otak dan tenaga. Urusan kantor, anak-anak, rumah dan lain-lain.



Kadang sih persoalan muncul karena kita sedang jenuh. Bukan karena jenuh sama kehidupan pernikahan, believe it or not, I never bored with my married life. Tapi jenuh sama kerjaan, jenuh sama mimpi kita yang tak kunjung nyata, jenuh sama pasangan (*loh, hehe...) yang mau ga mau suka ikut memperkeruh suasana. "Gw pikir masalah-masalah rumah tangga kaya gini cuma ada disinetron, tapi kok ternyata gw juga ngalamin yah..," kata teman saya, suatu hari.

Memang sih, konon kabaranya 5 tahun pertama pernikahan itu adalah masa yang paling berat. Dan katanya lagi, semua itu bisa dilalui dengan komunikasi, komitmen dan kesadaran diri yang tinggi. Beuuhhh.. teori sih gampang, prakteknya...? huhu..