Wednesday, December 10, 2008

Kompromi

Sebuah pesan singkat masuk menjelang pukul tujuh pagi ini. Saat saya berusaha mengalahkan kantuk karena baru terlelap menjelang subuh dan menahan amarah karena janji yang telah dibuat dengan seorang rekan kerja tertunda hingga dua jam kedepan. Sebuah pesan singkat yang menyejukan sekaligus membuat saya tambah pusing saja. Pesan itu dari seorang sahabat yang meski tengah sibuk dengan urusan pernikahannya akhir pekan ini, namun masih sempat meluangkan waktu untuk memberi solusi atas sebuah persoalan diri.


Pesan itu berisi ajakan untuk belajar lebih berkompromi. Terhadap hidup, terutama dalam sebuah hubungan. “Lo tolong buka blog gw, lita di list artikel kiri atas, klik tulisan ‘titik temu’” begitu ucapnya diakhir pesan.


Untuk beberapa hal, saya punya banyak kesamaan dengan sahabat saya ini. Pun dari cara pandang dan dalam memaknai sebuah permasalahan, kita tidak jauh beda. Termasuk dalam hal yang satu ini : kompromi.


Dia bilang berkompromi adalah “Saat saya mengurangi kemauan saya dan dia menambah upaya untuk memenuhi keinginan saya. Ketika dia sedikit mengabaikan kepentinganya dan saya berusaha untuk selalu memahaminya.” Ok , dalam tataran wacana teori teman saya ini mungkin terdengar hampir sempurna. Tapi toh pada kenyataanya, terutama apa yang saya alami sekarang teori tersebut mentah begitu saja.


Tapi saya sadari, persoalan utama yang masih mengganjal adalah bagaimana mengenyampingkan ego dan menyadari bahwa perbedaan tidak harus disikapi secara frontal. Sayangnya bagi saya, ketika bicara soal masa depan sikap kompromis perlu sedikit dikesampingkan. Mungkin di satu sisi saya bisa menerima perbedaan tadi. Memahami berbagai kekurangan yang dimiliki. Tapi lagi-lagi jika bersentuhan dengan masa depan, maka saya akan menuntut sampai kapan saya harus menjadi seorang kompromis? Sementara disatu sisi, usaha menuju perubahan-yang saya nilai baik untuk masa depan, tidak dilakukan.


Untuk pertanyaan tadi, teman saya punya jawabanya. Ia bilang, hubungan dua manusia tidak sama dengan dagang, dimana satu barang harus ditukar dengan barang lain yang nilainya setara. “Jika kita punya cabe, sementara yang orang butuhkan adalah kecap, kita tak harus memaksakan diri menyerahkan cabe untuk mengganti roti yang telah dia berikan. Dia juga tidak perlu memaksakan diri makan gudeg (sahabat saya ini orang jawa) meski saya telah belajar makan konro (calon suaminya orang makassar). Ada kalanya saya dan dia membiarkan sesuatu apa adanya, tanpa harus ditambah atau dikurangi agar berada di titik tengah.”


Tentu saya setuju dengan pernyataan teman saya tadi. Terlebih dalam argumenya kali ini, dia memberi catatan dimana saya pun berpikir demikian: “Standar baku untuk cowok itu hanya dua aja kok met: tanggung jawab & mau berusaha” ucapnya. Lalu dengan hanya menggantongi dua standar baku tersbeut, namun ternyata hanya satu yang bisa dipenuhi, apa saya masih bisa bersikap kompromi?

Thursday, November 13, 2008

Pertemuan dengan Anto Djadul


“Saya Anto mba.., Anto Djadul. Djadul-nya jangan lupa yah,” ujar pria kurus hitam itu tersipu malu saat kali pertama kami bertemu. Pagi itu ia menggunakan pakaian lengkap khas tentara kompeni di era penjajahan Belanda dulu. Kemeja putih yang sudah menguning warnanya termakan usia, dipadukan dengan dasi kumal warna merah dan jas putih serasi dengan celana panjang warna senada plus topi bulat putih yang akan mengingatkan kita pada jaman dahulu kala. "Ini (setelan jas dan celananya) baru datang lo mba. Baru tadi pagi dikirim dari Jawa. Harga satu stelnya Rp.160 ribu," jelas Anton sembari memamerkan giginya yang menguning dan tak karuan bentuknya.

Hari ini kami akan melakukan pengambilan gambar untuk salah satu program, di sebuah stasiun televisi swasta. Program berita ringan yang bertutur tentang perjalanan sejarah. Produser kami sengaja mendaulat pria asal Jawa Tengah itu sebagai memandu acara yang memang sesuai dengan penampilan serta hobi Anto yang menggilai apapun yang bernuansa tempo doeloe. Jadi di acara ini, Anto tak perlu menjadi orang lain. Cukup dirinya sendiri.

Anto memang unik. Dari pertama kali bertemu, dia memang sudah unik. Bayangkan saja, ketika kami menjemput di bawah jembatan pasar glodok, ia pede saja dengan 'seragam' lengkapnya itu beserta sepeda ontel tua miliknya yang menjadi properti produksi, berdiri di pinggir trotoar sembari celingak-celingung mencari mobil kami. Semua mata tertuju padanya.

Tapi Anto tetap cuek bebek. Ia tidak melepas kostum lalu menggantinya dengan kaos biasa, meski keringat terus mengucur karena panasnya cuaca Kota pagi itu. "Wah.. aku sudah nunggu dari tadi mba," ucapnya dengan logat Jawa kental sembari melangkah masuk ke mobil kami.


Pertemuan Anto dengan kru stasiun televisi swasta itu memang tidak disengaja. Kala itu, Anto adalah narasumber mereka. Tertarik dengan penampilanya yang lugu dan apa adanya, Anto pun di daulat menjadi pemandu acara. Entah karena untuk menekan budget atau guna menonjolkan karakter si host, sang produser menyerahkan seluruh urusan kostum dan properti ke Anto sendiri.

Mulai dari kacamata tua ala John Lennon, sepeda ontel sampai kamera yang meski sudah tua namun masih berfungsi dengan baik. Jika membutuhkan properti atau kostum tambahan, sang produser tinggal meminta Anto untuk mencari dan membelinya sendiri. Tentu, nanti uang yang sudah ia keluarkan akan diganti.

Sehari-hari, ia adalah tukang parkir di kawasan Glodok Kota. Kawasan yang tak pernah mati, meski malam tengah beranjak pagi. Dua belas tahun sudah ia menggeluti profesi ini. "Tapi saya ga pernah masuk ke dalam mba. Padahal saya pengen banget tau ada apa disana. Paling kedengeran suaranya aja. Jedag.. Jedug..," selorohnya.

Anto tinggal sendiri di Jakarta disebuah kamar petak kumuh yang tak jauh dari kawasan tempatnya bekerja. Sementara istri dan kedua anaknya hidup di desa. Bertahun-tahun, sang istri mengidap kanker rahim yang ketika saya tanya sudah stadium berapa, ia malah mengeleng tak tahu apa arti istilah itu. "Pokoknya perutnya sudah dioperasi berkali-kali. Bekas jahitanya aja banyak banget," ungkap Anto.

Penghasilan Anto sendiri sebagai tukang parkir, jelas tak seberapa. Dalam sehari ia bisa mengantongi Rp. 100 ribu dimana 30 persenya harus disetor ke Dinas Perhubungan DKI. Namun, karena keunikannya tadi, ia juga kerap menjadi model untuk fotografer-fotografer profesional maupun amatir yang ingin menciptakan foto dengan tema tempo doeloe. "Nih mba, liat foto-fotoku. Bagus kan? Yang moto Yudistira loh mba. Dia fotografer, juga pengacara," jelas Anto pamer.

Namun lagi-lagi, uang yang di dapat pun tak seberapa. Apalagi pekerjaan jadi model ini sifatnya musiman. Karena itu dengan profesi barunya sebagai presenter, Anto tak henti-hentinya berucap syukur. Mempercayai, bahwa Tuhan memang selalu ada untuknya.

Meski tidak berpendidikan tinggi, tapi cara kerja Anto menurutnya saya sangat profesional. Ia pantang mengeluh. Selalu tersenyum dan bertingkah konyol yang mengundang berjuta tawa. "Kalo nanti mba kerja sama saya, maaf yah mba kalo saya susah diajarin. Maklum, cuma tukang parkir," kilahnya.

Ketika bercerita tentang sang istri, tak ada guratan kesedihan yang tergambar di wajah Anto. Entah karena penyakit istrinya yang sudah bertahun-tahun atau karena begitu lah sifat alaminya. "Yang jelas, gusti Allah pasti sayang sama aku. Kalo sudah rajin solat malam dan berdoa tapi masih saja ada cobaan, berarti gusti Allah sayang sekali sama aku," pungkasnya.

-----

Hmmm.. jadi mau tau seperti apa Anto Djadul, nonton Riwajatmoe Doeloe yah di TVOne. Tiap Jumat, jam 09.30 wib. Atau mo nonton Mata Kamera juga ga pa-pa. Cuma gw lupa waktunya kapan. Pokoknya seminggu dua kali lah tiap jam 19.00 wib. Heuheuheuheu.. =')

Aisa si Angsa

Aisa adalah angsa remaja yang tengah beranjak dewasa. Ia tidak memiliki bulu cantik, pun tidak juga dikatakan buruk rupa. Aisa punya banyak teman. Mereka bilang ia menyenangkan dan selalu ingin membantu kawan. Namun aisa juga punya banyak kekurangan.

Tak heran, tidak sedikit juga yang enggan untuk berkawan. Mereka bilang ia pemarah, suka menyepelekan kemampuan teman serta berbagai kekurangan lainnya. Kadang karena kekurangan-kekurangan itu, meski ia ingin berbuat baik malah justru dipandang negatif. Tapi Aisa tidak mau ambil pusing. Ia tetap ceria menjalani hari. Terutama untuk mengejar semua mimpi.

Konon kabarnya ada sebuah danua yang indah di negeri nun jauh disana. Airnya tenang, jernih dan berkilau ditimpa sinar mentari kala pagi tiba. Angsa-angsa disana juga ramah-ramah dan begitu terbuka kepada siapa saja. Namun yang paling menggiurkan adalah ketika teman aisa yang pernah berkunjung kesana berkata, di danau itu ia bisa meraup berjuta pengalaman yang akan menuntunya menuju masa depan cemerlang. Berkunjung ke negeri itu, menjadi mimpi aisa saat ini.

Namun sayang, untuk menggapai itu bukan perkara mudah. Banyak yang harus aisa persiapkan luar dan dalam. Mengorbankan apapun juga, demi meraih kehidupan yang lebih baik. Sementara tak jarang teman-teman aisa mengingatkan, bahwa di danau yang ia diami saat ini pun kehidupan lebih baik bisa diwujudkan.

Aisa bingung. Ia gamang. Tak tau harus berbuat apa. Disatu sisi, mimpi menikmati hidup di danau indah itu kian menyesakan diri. Namun disisi lain, ia menyadari beragam keterbatasan yang berdiri bagai tembok kokoh dihadapanya. Berjuta keraguan bergumul hebat di kepala. Haruskah ia menyerah dan fokus pada hidupnya sekarang atau tetap mengejar mimpi meski harus berjalan pelan.

Memang apa yang teman-teman aisa katakan, ada benarnya juga. Hidup aisa, tidak terlalu buruk. Bahkan kerap kali ia lebih beruntung. Misalnya di tempatnya saat ini, aisa relatif mudah mencari makanan dengan ikan-ikan kaya gizi sehingga ia bisa tumbuh sehat dan bulu-bulunya pun mulai terlihat lebih indah.

Karena terus belajar menguatkan sayap-sayapnya, dan tentu dengan sedikit keberuntungan karena arah angin yang mendukung, aisa juga pernah berkunjung ke negeri indah nun jauh disana. Sesuatu paling membahagiakan bagi angsa betina yang selalu punya semangat itu. Namun sayang, hal tersebut hanya sekejap saja. Dan kini, keinginan untuk mengulang keberuntungan itu selalu menghantui tidur aisa.

Kegamangan terus mewarnai hidup Aisa. Benarkah, mimpinya itu terlalu mustahil untuk diwujudkan. Jika tidak, sampai kapan ia bertahan mengumpulkan keping demi keping harapan. Toh sekeras apapun ia berusaha, tetap saja Aisa tak mampu mengepakan sayap sekuat-kuatnya untuk meraih segala cita. Dan kini, Aisa patah arang.

Monday, October 6, 2008

Syefa sayang, Syefa malang



Bayi gempal nan mengemaskan itu sibuk sendiri bermain-main dengan keduajarinya dan baju yang baru beberapa saat diganti sehabis mandi. Ia mengoceh, bergumam, menjerit menandakan suasana hatinya sedang nyaman sore itu. Jika ada satu orang saja mengajaknya tertawa, ia akan tertawa lebih lebar sembari mengoceh, bergumam dan menjerit. Bahkan ditengah kantuk yang berat atau haus yang melanda kerongkongan, ia tetap akan tertawa saat ada yang mengajaknya bercanda. Hmm.. saya menyebutnya, 'bayi yang ga pernah susah'.

Sebutan itu tidak semata karena hobinya yang suka tertawa. Tapi ada berjuta harapan, agar besar kelak hidupnya selalu bahagia. Bagaimana tidak, Syefa nama bayi itu, sejak lahir, belum pernah mengenal sang ibu. Merasakan dekapan hangat dan menghisap banyak-banyak air susu yang akan membuatnya tumbuh kuat.




Ia lahir piatu. Hanya dua hari, Syefa punya Ibu. Itu pun tanpa pernahbertemu. Disaat ia masih harus tinggal diruang inkubator, sang bunda berjuang melawan kematian. Kata orang itu takdir. Bagi saya, kematiannya datang dari tangan-tangan kotor para Dokter yang rakus uang. Tapi ya sudahlah, nanti pasti ada balasan dari Tuhan. Mungkin saja melalui tangan Pengadilan. Yah.. keluarga kami memang sedang memperkarakan kematian bunda Syefa ke pihak kepolisian.

Bulan ini, umur Syefa genap enam bulan. Meski tanpa ibu, saya tahu ia takakan pernah kekurangan kasih sayang. Keluarga besar kami, selalu berebut ingin merawat dan melimpahinya perasaan nyaman. Tapi bagiamana ya, saat ia benar-benar sudah besar? Apakah sama, kasih sayang kami dengan kasih sayang sang bunda? Kepada siapa Syefa benar-benar bisa berkeluh kesah? terlebih saat ia beranjak remaja yang penuh dengan dinamika.

Memang Syefa masih punya ayah. Namun saya tidak yakin sang Ayah mampu memenuhi kebutuhan batiniah kalau sekarang saja ia sibuk dengan sang pacar. Lihat.. bagaimana saya bisa percaya, belum genap tiga bulan bunda pergi, lelaki hidung belang itu sudah asyik bercumbu dengan orang baru.




Duuh.. Syefa sayang, Syefa malang... kamu harus bahagia yah. Kini, esok dan selamanya. Dengan siapapun yang tulus memberimu cinta, meski tak setulus kasih bunda.

Lalu bunda.., kenapa kamu harus pergi begitu cepat? Tak habis pikir mengapa hidupmu terlalu singkat. Kamu baik pada siapa saja. Bukan kah, seharusnya kamu bisa hidup lebih lama. Menemani Syefa dan menimbang cucu di hari tua. Atau, ini memang benar-benar rencana tuhan agar bunda tidak pernah sakit hati melihat sifat asli sang suami.?

Syefa tertidur. Sepertinya, ia sudah lelah... mimpi indah yah. Saya tahu, dalam mimpi itu kamu pasti akan bertemu bunda dan bercerita tentang pelik dan indahnya dunia.





Wednesday, August 27, 2008

Kepencundangan Saya




“Meti.. Sori td gw reject tlp lo. Lg boarding. Gw dah d ruang tunggu, j6.50
take of. Jeng, ttp semangat yah tuk ngejar perubahan. Allah pasti liat
usaha qta kok. Cie.. Jd religius.. Saling mendoakan yak! Ini no gw slama d
eropa, sms internas cma 500. Wajib Keep in touch loh


Begitu bunyi pesan singkat yang masuk diujung tenggat waktu tugas saya Selasa lalu. Itu dari teman saya. Teman baik yang sedang bernasib baik. Ia mendapat kesempatan untuk meraih predikat master dengan biaya dari persatuan negara-negara di Eropa. Dua tahun gadis yatim piatu itu menimba ilmu di lebih dari lima negara. Hmm.. beruntung bukan? Padahal usianya belum lagi habis 25 tahun.

Saya juga 25 tahun sejak kira-kira empat bulan lalu. Tapi lihat saya.. tidak lebih dari seorang pecundang yang menghabiskan waktunya untuk memikirkan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu dipikirkan. Meita Annissa yang terlalu disibukan dengan persoalan cinta. Lupa akan cita-cita besarnya yaitu mendapat kesempatan untuk melanjutkan pendidikan secara cuma-cuma.

Berhari-hari, berminggu-minggu dan (mungkin) hingga berbulan-bulan masih saja ia berkutat dengan urusan yang hanya memusingkan kepala. Padahal jika tidak dipikirkan, jika tidak harus memilih diantara orang-orang yang memproklamirkan rasa suka dan sayang (atau napsu?), mungkin saya bisa seberuntung teman baik saya itu.



Memang disatu sisi saya selalu merasa butuh seseorang untuk berbagi. Seseorang yang mau mendukung saya, atau bahkan punya ambisi yang lebih gila dari yang saya miliki. Tapi untuk mendapatkan sosok seperti itu, ternyata bukan perkara mudah. Kadang saya merasa kita punya banyak kemiripan, namun sayang visi dan misi kita berbeda dalam memandang serta memaknai masa depan.

Meita Annissa… sepertinya itu terlalu klise? Mungkin saja. Tapi sosok itu yang sebenarnya sangat saya butuhkan.



Pernah suatu ketika, teman saya yang dapat beasiswa ke Eropa itu berkata,? “Gw begini karena lo tau met. Gw pernah sempat down karena belum juga ada aplikasi yang lolos. Tapi waktu lo dapat Fellow ke Jerman, gw jadi mikir … kok lo bisa kenapa gw ngga. Gara-gara itu gw jadi semangat lagi buat nyari. Lo juga harus gitu yah met,” pesannya pada saya panjang lebar.

Tentu… saya seperti mendapat doping baru pemicu semangat. Seperti orang kesurupan saya pun mulai mencari informasi kesana-sini. Namun lagi-lagi masalah itu datang. Percintaan yang tidak lebih dari sekedar roman picisan. Setiap hari harus bertemu, demikian juga diakhir pekan, lalu kapan saya bisa maju.?

Yah.. sudah lah. Teman saya pasti sudah tiba di Finlandia sekarang. Negara pertama yang akan ia jelajahi dan taklukan. Rongga paru-parunya pun juga pasti sudah penuh dengan udara segera dipenghujung musim panas. Lalu saya? Bagaimana saya…? Tuhan.. kamu masih mau kan berbaik hati pada perempuan yang tak tahu rasa berterima kasih ini?

Saturday, July 5, 2008

Avonturir


Untuk kesekian kali aku terbangun nyaman di dalam pelukan lelaki Berwajah tirus itu. Aroma tubuhnya terasa tenang menyusup kedalam rongga hidungku. Murni aroma tubuh, pheromone, tanpa gangguan dari aneka minyak wangi apapun namanya itu.

Untuk kesekian kali juga kupandangi wajahnya yang dipenuhi garis-garis kasar sebagai bukti kerasnya hidup yang selama ia jalani. Terus kupandangi hingga ke lekuk bangir hidung itu sembari menanti ia terbangun dan segera mengosok-gosokan dengan manja hidungnya tadi ke hidungku lantas berujar, “selamat pagi sayang.”

Duh kamu, kenapa harus selalu aku yang terlebih dulu bangun. Merasakan hangat sang mentari yang tanpa malu-malu menerebos masuk ke kamar kita. Lalu, wajah tirus mu pun lebih mudah untuk kupandangi. Wajah yang lelah. Entah karena diskusi panjang kita tentang hidup, mimpi sampai beragam cerita konspirasi yang mewarnai berbagai peristiwa di dalam negeri atau karena percintaan panjang kita semalam.

Sayang… kamu memang istimewa. Bagaimana tidak, dari awal kita bertemu, ditengah hiruk pikuk jumpa wartawan dengan Kepala Divisi Humas Mabes Polri yang berkicau panjang soal rusuhnya demo mahasiswa menolak kenaikan bahan bakar minyak itu, kamu sudah membuatku jatuh cinta. Kalau kata orang, cinta pada pandangan pertama.

Seingatku, kamu mencecar Kadiv Humas berperut buncit itu dengan beragam pertanyaan yang menyudukan. Kamu buat ia mengaku, bahwa Polisi juga turut bertanggung jawab atas kerusuhan itu. Dan semua mata tertuju padamu. Apalagi kaum perempuan seperti aku. Kagum akan kepintaraanmu, juga wajah tampan yang mengalir darah campuran Pakistan dan Jerman.

Enam tahun menyandang status sebagai kuli tinta memang membuatmu lebih tahu segala. Ku pikir, aku sudah termasuk orang yang tahu banyak. Sampai kadang dengan sombong, ku sudutkan orang-orang yang coba membantah apa yang ku bilang. Tapi sejak mengenalmu, aku tahu aku bukan apa-apa.

Seperti minggu lalu misalnya, sebelum kita bercinta, kamu bercerita tentang kegundahanmu akan unjuk rasa anarkis di depan Dedung DPR/MPR yang berlanjut ke kampus Universitas Atma Jaya Jakarta. Saat itu, kamu bergumam sendiri, “Settingan siapa ini.? Mengapa harus ada lagi aksi demonstrasi yang jauh dari kesan manusiawi.”

Padahal menurutmu, Muchdi baru saja ditangkap. Pembunuh Aktivis Ham, Munir, mungkin sebentar lagi terungkap. Mengapa harus ada peristiwa baru, selang sehari setelah Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menggelandang salah satu mantan petinggi BIN itu.

Ku tanya balik, “menurut kamu ini settingan siapa sayang,”? dan dahi mu pun berkerut. Seperti biasa, teori-teori konspirasi yang selalu ada di otakmu membuka diskusi panjang kita melintasi malam. “Banyak sebab. Tapi yang jelas penunggangnya avonturir. Yang ingin SBY-JK lengser dengan demosi terhadap polisi. Pintu masuknya lewat polisi sayang,” begitu jawabmu.

Avonturir? Hmm… Binatang apa itu. Sepanjang karirku, belum pernah aku dengar istilah itu. Banyak kisah-kisah konsiprasi yang yang mengendap di otakku, tapi kok aku tidak tahu untuk yang satu ini. Lalu… apalagi itu demosi? Apa hubunganya dengan kematian Munir atau aksi Anarkis para mahasiswa-mahasiswa tadi. Agak malu bertanya, tapi aku harus tahu. Kucumbu dia dulu, baru ku lontarkan pertanyaan itu, “avonturir apa sayang.?”.

Bukan menjawab, kamu hanya tersenyum. Tidak tahu apa yang lucu. Tapi biar lah, itu konsekuensi logis yang harus diterima makhluk bodoh seperti aku. “Avonturir itu orang yang mengambil kesempatan dalam sebuah situasi sayang. Mereka penelikung,” jawabmu pelan.

Kemudian tanpa ditanya, penjelasan berlanjut ke istilah demosi. Menurutmu, demosi sama dengan tidak mempercayai lagi untuk menduduki posisi startegis. “Karena aktornya Polisi sayang,” tambahmu memberi alasan. “Bisa saja karema terkait kegiatan polisi belakangan ini.. yang tengah asyik dengan kasus Munirnya. Hmm.. tapi bisa iya bisa tidak yah.”

Aku masih bingung. Masih banyak pertanyaan menggantung di tenggorokan. Tapi kamu malah mencumbuku. Tak perduli atas segala keingintahuanku. Sayangnya lagi, bercinta denganmu memang jauh lebih mengasyikan. Daripada kisah konspirasi picisan ini. Maka bergumulah kita dalam asa. Tak ada lagi pertanyaan. Hanya kepasrahan yang sejenak meninggalkan kamu dan aku dari realita yang ada. Kamu dan aku sayang. Hanya kamu dan aku. Bergerilya menembus ruang dan waktu lalu kembali dengan peluh yang membasahi sekujur tubuh.

Entah mengapa kamu begitu mahir bercinta. Apa karena kecerdasan intelektualmu yang membuatku begitu bergairah. Atau memang karena kamu seorang pemuja jurus-jurus Kamasutra? Atau mungkin kombinasi dari keduanya. Lucu memang, aku lebih bergairah dengan lelaki pintar dari pada seksi.

Meski aku tak suka darah Pakistan itu mengalir di dirimu, karena kamu terlihat tampan menjadi seorang Jerman, tapi aku begitu tergila-gila pada bibir penuh dan hati setengah dewa itu. Apalagi karena tiap bait kata yang muncul dari bibirmu adalah sebuah pencerahan dan pengetahuan baru bagiku.

Setelah peluh mengering, cerita konspirasi itu kembali mengerutkan kening. Ku tanya kamu, apa ini pengalihan isu sayang? Kamu pun bangun dari pelukan, langsung menyambar sebatang rokok dan menyulutnya tak sabar. Kamu bilang, “bukan sayang, tapi ada yang tidak senang dengan upaya polisi mengungkap kasus Munir.”

“Makanya, ada pihak yang mencoba menyetting untuk membentrokan polisi dengan mahasiswa. Sehingga orang akan tidak senang dengan polisi,” cetus mu panjang lebar.

Kemudian teori mu tentang konspirasi dalam negeri bergulir lagi. Kamu katakan, dengan settingan tersebut ujung-ujungnya polisi bisa di demosi. “Tapi bisa iya, bisa tidak. Masalahnya kalau sampai ada yang terpancing dan ada yang jadi korban, misalnya mahasiswa mati tertembak polisi maka bisa seperti ‘98 lalu. Orang sudah gak percaya pemerintahan.”

“Lalu sayang, kira-kira orang yang tidak senang itu siapa,”? tanya ku kembali. “Ya avonturir itu tadi,” jawabmu. “Bisa musuh politik pemerintah hingga sampai mereka yang tidak ingin kasus Munir terungkap. Dan siapa mereka? ya harus dibuktikan dulu.”

Hisapan terakhir habis sudah. putung rokok itu kamu koyakan tak berdaya hingga tak ada lagi bara. Kamu kembali kepelukan ku, melanjutkan cerita-cerita tak masuk akal itu. “Bisa banyak yang main sayang. Tapi coba kamu jawab ini,” lanjutnya, “itemukan sebuah granat aktif di UNAS saat pecah bentrok polisi VS mahasiswa. Nah siapa yang naruh granat itu disana? polisi dinas tidak bawa granat sayang.”

“Mahasiswa juga tidak mungkin punya. Yang menaruh granat di sana berharap granat itu dilempar mahasiswa atau polisi dan blar..... jatuh korban. Apalagi kalau korbannya mahasiswa, maka orang-orang akan marah besar,” begitu, bunyi teori konspirasimu.

“Polisi sudah memperkirakan itu dan tak ingin terpancing. Makanya cenderung membiarkan mahasiswa mengamuk. Nah, tapi kan mahasiswa juga harus sadar kalau ngamuk ngawur gitu orang tidak akan simpatik,” keluhmu.

Lalu ku eratkan pelukan di tubuh kurusnya itu. Mencoba menenangkan segala gundah dan kegelisahan, meski aku tak punya solusi atas segala persoalan ini. Ku kecup keningnya lembut dan kamu pun menarik nafas panjang mencoba menikmati kecupan tadi.

“Lantas, bagaimana kamu membuktikan teori konspirasimu itu sayang,? “tanya ku. “Apa akan kamu bagi dengan semua orang di negeri ini melalui gerosan tinta cetak di media, tempat kamu bekerja,” sambungku dalam hati.

“Kemarin Kapolri berbicara dengan wartawan. Dia bilang demo lalu tidak murni digerakan mahasiswa. Tapi dia tidak secara eksplisit megatakan ada yang menunggangi,” ucap kamu menjawab pertanyaanku. Namun sayang menurutmu, mantan Kapolda Jawa Timur itu tidak banyak memberikan informasi.

“Tapi ketika yang lain pergi, dia menarik tanganku. Dia berbisik bahwa sang designer sudah teridentifikasi. Dan terbunuhnya mahasiswa Unas itu memang disengaja terjadi. Agar perang itu, pecah sendiri. Hanya tinggal tunggu waktu bagi polisi untuk menangkap dia. Begitu katanya.”

Darahku mendesir hebat. Entah karena kepiawaianya mendapat informasi-informasi dari sumber asli atau karena teori-teori konspirasi ini yang makin lama makin tidak masuk akal. Bayangkan saja, mana ada orang yang tega membunuh untuk memuluskan rencannya. Bahkan yang menjadi korban adalah Mahasiswa. Benar-benar tidak masuk akal bukan?

Namun seperti biasa, kamu selalu bisa meyakinkanku akan kebenaran teori itu. kamu bilang seorang Kapolri tak mungkin bicara tanpa ada bukti. “Tapi sialnya, dia bilang informasi itu off the record. Aku bisa apa,” imbuhnya meyakinkan.

Tapi benar saja, selang beberapa jam setelah percintaan kita, setelah diskusi yang bikin pusing kepala, sebuah pesan singkat masuk ke telepon selularku. Ternyata dari redakturku. Begini bunyinya: “Kepala BIN bilang demo kemarin ditunggangi. Tolong cari tahu, siapa orang itu,”. Hmm.. aku bergumam sendiri. Hebat sekali belahan jiwaku ini. Selamat sayang, teori konspirasimu nyaris terbukti. Tinggal sekarang, aku mencari tahu benar tidak sang designer membunuh anak muda itu.

****

Sudah jam 9 lebih sedikit. Kamu belum bangun juga. Aku semakin tidak sabar, menunggu dengan harap-harap cemas kapan kamu akan segera terbangun dan menggosok-gosokan hidungmu ke hidungku sembari berujar, “selamat pagi sayang.” Sesuatu yang selalu aku rindu dari kamu. Duuh.. kenapa bisa selelap itu sih tidurmu. Tak bergeming meski sudah hampir 15 menit tak henti-hentinya kupandangi.

Dan tiba-tiba, telepon selularmu berbunyi. Mengantar segenap harap kamu akan terbangun dan segera menggosok-gosokan hidungmu ke hidungku sembari berujar, “selamat pagi sayang.” Ahaa… kamu memang bangun. Bahagia rasanya. Seperti seorang bayi yang mendapat biskuit kegemaranya. Pasti kamu langsung menggosok-gosokan hidungmu ke hidungku sembari berujar, “selamat pagi sayang.”

Tapi tidak ... Pujaan hatiku tidak melakukan itu. Ia berlari ke kamar mandi dengan telepon yang menempel erat dipipi. Harap-harap cemas menunggu, kembali mengusik hati. Tuhan.. jangan lagi. Kamu janji, dia akan bersamaku selalu. Tidak hanya malam ini, tapi juga lusa dan lusa hingga maut memisahkan kita. Jangan seperti ini lagi Tuhan. Jangan…. Dia milikku.

Ditengah rintihan dan doaku, kamu pun kembali. Rasa cemas itu, masih membunuhku perlahan. Menanti apa yang akan terjadi, setelah malam yang begitu membahagiakan ini. “Ini hari Selasa. Aku harus beli sabun mandi untuk anakku. Aku juga harus pulang cepat. Karena tadi malam aku bersamamu. Nanti aku telepon kamu.” Dan belahan hatiku, pergi berlalu. Seperti pagi-pagi yang lalu. (meita annissa)

Thursday, March 13, 2008

Baju Lusuh

Kata orang hari ini saya tampak cantik. Blus kerah rendah warna putih bersih, dipadu dengan celana bahan Rp. 60 ribuan yang saya beli tadi malam. hmmm.. am i looking good with this dress? sebenarnya iya sih, saya memang ingin sekali terlihat cantik hari ini.

Entah kenapa hari ini saya ingin sekali tampil cantik. Meski tahu, baju saya pasti akan segera lusuh bedak pun luntur tersapu keringat sepanjang perjalanan dari kosan ke tempat liputan di Cipete sana. Maklum, sudah lebih dari tiga tahun ini saya selalu menggandalkan motor sebagai alat transportasi utama.

Ok, balik lagi soal baju. Tahu kenapa saya ingin sekali terlihat cantik hari ini? Karena saya sangat menanti seseorang di luar sana mengajak keluar malam ini. Selain menyiapkan pakaian khusus, saya juga mati-matian agar sebelum jam enam segala pekerjaan sudah selesai.

Dua kali hujan deras sepanjang perjalanan dari Cipete menuju Kantor Pusat Pertamina (tempat liputan berikutnya) dan dari Pertamina ke kantor, saya terabas begitu saja sembari mati-matian menahan agar air tidak merambas masuk terlalu dalam. Nanti pakaian saya tambah lusuh.

Dia bilang, dia sayang saya. Walaupun rasaya kok seperti terpaksa. Tapi saya buang jauh-jauh pikiran itu, karena berharap malam ini ia akan katakan dengan sungguh-sungguh.

Tapi .... sudah jam 19.30. Tidak ada kabar. Pakaian saya semakin lusuh dan muka pun .... aduh, ga tahu seperti apa bentuknya.

Ya sudah, selamat bersenang-senang saja kamu disana. Semoga kamu bahagia. Biar nanti, baju lusuh ini segera saya cuci. Ini baju kesukaan saya.