Tuesday, October 5, 2010

Dilema


Dan akhirnya, semua ibu yang bekerja pasti akan dihadapkan pada persoalan yang sama: anak atau pekerjaan. Setidaknya begitulah yang sedang saya alami saat ini. Kembali bekerja dan mendapat tugas yang menuntut saya jauh dari rumah berhari-hari.

Jujur, saya sangat tertantang dengan tugas baru saya tadi. Rasanya, amat sangat sayang jika dilewatkan. Tapi jika harus jauh dari rumah, meninggalkan anak yang belum genap 6 bulan, tentu bukan perkara mudah.

Kemarin saya membahas ini dengan teman-teman senasib sepenanggungan, yang punya bayi juga bekerja. Niatnya sih, biar dapat dukungan dan mematahkan mitos bahwa perempuan yang baru punya anak tidak akan lagi bisa optimal bekerja. Saya juga ingin tahu, bagaimana tips dan tricks agar ASI tetap keluar meski tidak dihisap anak kita selama berhari-hari.

Eh.. ternyata sesi konsultasi berjalan tidak sesuai harapan (hehehe..). Tidak ada satupun yang mendukung tugas baru saya. Menurut mereka, anak adalah yang utama. Sudah bukan masanya lagi mengejar cita-cita dan karir. Apalagi, jika anak kita masih bayi. "Gw aja dapet tawaran pelatihan di luar kota gw tolak. Padahal habis ikut pelatihan itu gaji gw naik," kata salah seorang teman.

Bahkan teman saya yang lain sempat curcol bagaimana ketika kedua orang tuanya bercerai, ia memilih lebih baik tinggal dengan sang ayah karena ibu-nya terlalu sibuk bekerja.

Berat memang meninggalkan anak. Apalagi jika anak tersebut sangat bergantung pada kita karena masih ASI. Apalagi, saya bercita-cita untuk menyusui minimal satu tahun dan memberi makanan full home made kepada anak saya. Saya tidak mau menjadi ibu yang gagal membesarkan anak. Meski belum jelas juga sih, parameter gagal itu apa. Hanya yang jelas, saya bertekad untuk selalu memberikan yang terbaik untuk anak-anak saya. Tapi disatu sisi, saya berpikir kesempatan itu jarang datang dua kali.

Anak saya pasti tahu, jika saya menyayangi dia lebih dari apapun di muka bumi ini. Saya juga tahu, jika anak saya sudah bisa bicara dan berpikir, dia pasti akan mendukung saya.

Tapi yasudalah, belum tentu juga saya jadi berangkat. Untuk apa mengkhawatirkan sesuatu yang belum terjadi. Hehe… Yang terpenting, saya tahu apa yang terbaik untuk diri saya dan keluarga dan suami akan selalu ada dibelakang saya. Hmm..