Saturday, October 24, 2015

Am I Good Mother?

Yes, am I good mother? Pertanyaan ini lagi sering-seringnya mengusik pikiran saya beberapa hari terakhir ini. Terlebih karena si kecil baby Einar terlihat makin dekat ke si bibi daripada saya. Apalagi kemarin malam dan malam ini, dia ngamuk ga mau tidur dengan saya. Biasanya, kalau dalam situasi seperti ini saya lebih memilih menyerah dan membiarkan dia tidur dengan bibi.

Tapi tadi pak gentur protes, kenapa saya tidak coba untuk merayu agar si kecil bisa kembali tidur dengan kami. Sudah saya jelaskan, anak ini keras kepala. He always gets what he wants. 

Saya sendiri juga bingung kenapa si kecil tidak ingin tidur dengan saya malam ini. Padahal seharian ini kami bersama-sama. Weekend saat yang tepat untuk bonding. Karena itu saya coba merayu dia lagi, sambil saya gendong menuju kamar kami. 

Bukannya diam, dia malah semakin menjadi-jadi. Suara tangis Einar yang memecah telinga ditengah kami yang lelah membuat emosi pak Gentur meninggi. Diambil anak itu lalu dimarahi. Awalnya saya sudah pasrah, membiarkan Einar kembali tidur sama bibi. Tapi pak gentur sudah tidak mau mengalah, memaksa sambil marah-marah pada bayi 3 tahun ini agar dia mau diam.

Tentu, anak yang belum mengerti apa-apa itu tidak mau menuruti perintah apapun, bahkan dari kedua orang tuanya sendiri. Saya memutuskan untuk menawarkan payudara saya, agar Einar yang sudah lama disapih, kembali menyusu. Dia pun diam dan kemudian tertidur.

Apa yang terjadi ini, kata pak Gentur, adalah salah saya. Saya sering pulang bekerja langsung tidur, tidak menidurkan anak-anak terlebih dahulu. Menurut dia, saya jarang mengoptimalkan waktu senggang saya bersama anak-anak. Sedih dengarnya.

Tapi mungkin yang pak Gentur bilang memang benar adanya. Ketika memutuskan untuk menjadi orang tua, harusnya saya sadar dengan segala konsekuensinya. Harusnya saya tahu apa prioritas saya. 

Mungkin selama ini, saya memamg terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Pikiran saya terkotakan, bahwa saya berhak punya me time karena selama 5 hari dalam seminggu, 13 jam sehari, saya lelah bekerja membantu keluarga mencari nafkah.

Padahal me time saya tidak aneh-aneh. Saya jaraaanggggg... sekali meninggalkan anak-anak saat libur kecuali untuk tidur. Adalah peraturan tidak tertulis dari pak Gentur, bahwa waktu libur sudah seharusnya didedikasikan untuk anak-anak.

Pun... itupun sudah saya lakukan, tetap saja sulit rasanya menjadi ibu yang baik. Disinilah saat-saat dimana saya ingin sekali berhenti bekerja. Atau jikapun ingin tetap bekerja, mungkin sudah saatnya saya melepaskan semua keinginan dan cita-cita saya dan menyalurkannya dengan lebih mengurus anak-anak. 

Lupakan me time. Lupakan pertemanan. Toh sudah ada sosial media. Selesai bekerja, langsung pulang. Ga usah mainan hp setelah sampai di rumah. Sesering mungkin peluk, cium dan katakan kepada mereka betapa saya amat sangat menyayangi meeka. Sebisa mungkin, penuhi apa yang mereka mau. Ambil alih semua pengurusan anak-anak di akhir pekan. Jangan tidur saat mereka tidak tidur.

Percaya atau tidak, hampir semua poin diatas sudah saya lakukan. Tapi apakah saya termasuk ibu yang baik? Am I good mother?

Hanya anak-anak dan Tuhan yang tahu.......


Wednesday, October 21, 2015

Review : Bridge of Spies

Ok, dalam kesempatan kali ini saya ingin mereview film yang saya tonton tadi malam : Bridge of Spies. Jujur, saya tertarik nonton film ini karena ada muka Tom Hanks disitu. Ibaratnya, dengan ada nih orang sudah jadi jaminan mutu film yang dia mainkan pasti bagus.

Dan anggapan saya ini tepat. Filmnya memang layak ditonton. Makanya meski sibuk kerja, saya bela-belain nih bikin review (maap lebay).

Sepajang 141 menit, film ini isinya ngomoooongggg… ajah. Tapi ajaibnya, saya tetap betah menikmati dialog film yang diambil dari kejadian nyata ini. Penonton lain juga terlihat demikian. Begitu film habis, taadaaaa… muncul nama Steven Spielberg sebagai sutradara. No wonder lah yah.. nih film keren banget.

Anyway, Bridge of Spies bercerita tentang seorang pengacara yang diberi tugas untuk membela seorang warga negara Jerman Timur atas dituduh sebagai mata-mata Soviet. Di masa Perang Dingin, dimana setting kisah ini berlangsung, Uni Soviet dan Amerika Serikat tengah berlomba untuk menjadi negara terkuat dengan ideologi yang mereka usung, melalui koalisi militer, kampanye propaganda besar-besaran, spinonase dan sebagainya.

Karena itu, penangkapan Rudolf Abel (Mark Rylance) sebagai mata-mata menarik perhatian seluruh warga Amerika. Terlebih karena Abel menolak untuk bekerja sama dengan AS dengan membocorkan informasi terkait senjata nuklir Soviet, sehingga desakan sang mata-mata untuk di hukum mati terus menguat. Namun sebagai negara yang menjunjung hukum, pemerintah AS mengutus seorang pengacara untuk membantu Abel melewati proses hukumnya.

Adalah James Donovan (Tom Hanks), seorang pengacara khusus bidang asuransi yang diminta untuk membela Abel. Donovan awalnya sempat menolak karena Pidana bukan bidang hukumnya. Belum lagi ancaman akan didiskriditkan karena dia membela seorang mata-mata. Namun akhirnya Donovan menerima juga tugas tersebut.

Tom Hanks berperan sangat apik sebagai pengacara yanh bertugas membela seorang mata-mata Soviet pada masa Perang Dingin 

Seperti yang sudah diperkirakan, tugas Donovan tidak mudah. Bahkan hakim yang memimpin jalannya persidangan, sudah bersikap sinis terhadap Abel. Berbagai keberatan yang disampaikan Donovan selalu ditolak mentah-mentah. Hingga suatu hari, Donovan sengaja mengunjungi hakim di rumahnya untuk menyampaikan pandangannya. Ia meminta agar Abel tidak dihukum mati dengan pertimbangan si mata-mata bisa digunakan sebagai alat pertukaran jika semisal ada mata-mata Amerika yang tertangkap.

How do you sure about this?” tanya si pengacara.

Well, I’m working for Insurance. Sudah tugas saya untuk memprediksi apa yang terjadi di masa depan,” kira-kira seperti itulah jawaban Donovan.

Hakim akhirnya menjatuhkan hukuman 30 tahun penjara bagi Abel, yang langsung mendapat penolakan keras dari masyakarat. Di saat itu juga, berbagai terror dialami Donovan dan keluargnya karena dinilai telah membeli Abel.


Hanks + Spielberg = jaminan mutu! Hehe..

Ketika proses hukum terhadap Abel berjalan, di saat yang sama Uni Soviet berhasil menembak pesawat mata-mata canggih milik AS dan menahan sang pilot. Di saat yang hampir bersamaan juga, Jerman Timur, yang saat itu telah mendeklarasikan diri sebagai negara dan berpihak kepada Soviet menahan seorang mahasiswa AS atas tuduhan sebagai mata-mata.

Badan Intelejen Amerika (CIA) langsung mengutus Donovan untuk menukar Abel dengan Francis Gary Powers dan juga si mahasiswa, Frederic Pryor jika memungkinkan. Donovan ditugaskan, karena pemerintah AS tidak mau terlibat langsung dalam proses pertukaran tersebut. Donovan juga diminta untuk tidak menceritakan kepada siapapun tentang tugasnya itu, termasuk kepada istrinya sendiri.

Di kala perang dingin, sekutu AS adalah Berlin Barat. AS juga bahkan tidak mengakui Jerman Timur sebagai negara. Karena itu tugas Donovan tidaklah mudah. Menukar satu warga Soviet yang mereka tahan dengan 2 warga AS.

Lalu, berhasilkan Donovan menjalani tugas berbahaya ini? Nah… tonton sendiri ajah yah filmnya. Hehe… (ga mau spoiler)

Anyway, yang bikin film ini keren apalagi kalau bukan acting para pendukungnya. Belum lagi setting tiap scene yang benar-benar dibuat seperti kondisi di jamannya. Jadi selain menikmati dialog, yang  juga mengasyikan dari film ini adalah memperhatikan tiap detil adegan demi adegannya. Pokoknya jangan sampai kelewatan yah ga nonton film ini. Hehe..




Wednesday, October 14, 2015

Gerangan Cinta

Pagi ini sesaat setelah menyalakan komputer, saya memutar lagu Gerangan Cinta yang dibawakan secara apik oleh grup musik Java Jive. Hayooo ngacung, siapa yang masih ingat lagu ini? Hehe.. ketauan deh angkatan berapa.

Entah kenapa lagu ini langsung mengirim saya di masa-masa ketika mulai menjejakan kaki di dunia kerja. Tiba-tiba saya merasa melow. Mengingat dulu jatuh bangun (yaelah lebay banget) mencari berita untuk sebuah media cetak harian nasional. 

Menghadapi tekanan deadline dan tuntutan redaktur untuk mengasilkan informasi yang layak untuk dibagi kepada pembaca koran kami. Memposisikan diri sebagai orang yang paham peta perpolitikan nasional ketika ditempatkan di desk politik atau orang yang tahu potret industri tambang dan migas ketika diharuskan meliput desk energi dan sebagainya.

Masa-masa yang diwarnai beraneka mimpi dan harapan. Ingin punya ini, ingin punya itu. Ingin bisa ini, bisa itu. Merasakan ini, mengalami itu. Lucunya, saat ini sebagain sudah terwujud, sebagaian masih mengambang (hik.. hiks.. hiks..).

Masa saat mencari jati diri, diwarnai kisah percintaan yang datang silih berganti (ishhh...). Naksir si A, A-nya gebet si B. Dideketin si C, tapi saya mau-nya sama si D. Hihi.. nulis ini jadi senyum-senyum sendiri. Inget sakitnya waktu patah hati dan indahnya saat jatuhnya cinta. (Hehe..)   

Dengar lagu ini juga membuat saya merindukan kamar kontrakan saya. Walaupun terletak di pemukiman kampung sempit, tapi kamar saya itu nyaman banget. Kamar tempat saya mencurahkan segala keluh kesah, tempat kontemplasi, mencari inspirasi dan menyusun strategi untuk meraih mimpi. Bahkan tempat saya dan pak gentur memulai hidup kami bersama.

Ok, segini dulu deh mengenang romantisme masa lalu. Nanti ga mulai-mulai kerja deh. Kita lanjut pada kesempatan yang berikutnya yah. Hehe..

Monday, October 12, 2015

Jaldis

Duh.... Udah lama banget ga ngeblog. Padahal banyak hal yang ingin dishare di diary virtual ini. Tentang perjalanan rombongan sirkus (saya, pak gentur dan anak-anak) ke Bali, beberapa minggu setelah dari Yogya dan kembali ke Yogya untuk merayakan hari raya.

Masalahnya klise sih. Antara tidak punya waktu dan males. Tapi kali ini saya sempat-sempatin nulis. Kebetulan saya sedang Jaldis a.k.a perjalanan.

Yah seperti buruh pada umumnya, perjalanan dinas memang menjadi suatu yang dinantikan. Selain bisa sebentar keluar dari rutininitas, jaldis kerap dinantikan karena adanya tunjangan dinas dan beberapa privilege lainya. Bagi saya jaldis adalah momen dimana saya bisa sedikit menikmati waktu sendiri saya atau me time, meski kadang suka sedih juga kalau teringat harus ninggalin bocah di rumah. Momen dimana saya bisa ga 'ngantor' dan syukur-syukur jika tugasnya tidak padat. Kalau ternyata kerjaanya banyak, yah sami mawon (eh bener ga sih nulisnya gini).

Anyway meski happy jika dapat tugas luar kota, tapi maaf yah saya bukan tipikal buruh yang suka cari-cari jalan biar bisa jaldis, yang menurut pak Gentur "PNS banget tuh kaya gitu, cari-cari jalan habiskan duit negara buat perjalanan dinas". Masih ingat kan kejadian kementerian mana gituh yang ditugaskan membawa film-film Indonesia ke ajang International? Dimana para artis pada protes karena mereka selalu menggunakan duit dari kantong sendiri, sementara si staf kementerian yang sebenernya punya anggaran untuk mengcover para artis, tapi malah bawa keluarga mereka ke ajang tersebut?

Well saya bilang sama pak Gentur, para pemburu jaldis ini bukan hanya dilingkungan pemerintahan, di pegawai swasta juga banyak. Kadang yang bikin kesel, sebenarnya tuh buruh punya kerjaan lain yang lebih penting di kantor, tapi malah bela-belain jaldis. 

Anyway, pada akhirnya, yah kita kembalikan semua ke pribadi masing-masing. Ga mau usil juga. Biar mereka tanggung sendiri resiko dan segala konsekuensinya.