Sunday, February 14, 2016

Jika Anak Saya Gay?

Jika anak saya Gay? Apa yang akan saya lakukan? Pertanyaan ini sering muncul di kepala saya seiring dengan makin bergulirnya pro-kontra perihal keberadaan LGBT, Lesbi, Gay, Biseksual dan Transgender di sekitar kita. Jujur saya sebenarnya malas terlibat diskusi maupun debat soal ini.
 
Bukan apa-apa, rasanya otak saya tidak kuat jika harus melayani para (kalau boleh saya sebut) ekstrimis kanan dan ekstrimis kiri. Tapi saya tetap menulis ini, sebagai konsumsi saya sendiri dan anak cucu saya nanti di kemudian hari.
 
Jika bisa saya simpulkan, bagi ekstrimis kiri LGBT itu bukan penyakit. Jadi menurut mereka, untuk apa cape-cape mencari obat penawarnya? Selama mereka masih berguna buat sesama, tidak membuat keonaran dan kerusakan, mereka layak dong untuk hidup sama seperti kita, dimana saya sangat sepakat sekali dalam hal ini.
Sementara bagi ekstrimis kanan, sudah jelas kok semua Agama melarang perilaku seksual (yang menurut mereka) menyimpang. Bahkan di Al-Quran, ayat yang menyatakan azab nyata bagi para LGBT juga disebutkan dengan jelas yang membuat saya ikut-ikutan takut menerima keberadaan mereka.
Namun wacana yang beredar bahwa LGBT penyebarkan penyakit dan membuat orang-orang yang heteroseksual menjadi homoseksual, menurut saya itu masih debatable. I mean, come on… Kalian pikir kaum heteroseksual tidak menyebarkan penyakit? Malah menurut saya mereka lebih bertanggungjawab atas peningkatan jumlah penderita penyakit menular seksual, HIV & AIDS dan sebagainya mengingat populasi mereka lebih besar dari para penyuka sesama jenis.
Perihal LGBT yang suka ngajak-ngajak… Bagi saya, udah lah yah… setiap manusia kan dibekali akal untuk mikir. Ini sebenarnya sebelas duabelas dengan prostitusi. Dalam kasus prostitusi, apa yang harus disalahkan si om-om genit? Atau justru kesalahan ada di perempuan yang mau saja menjajakan tubuh demi materi?
Saya percaya lingkungan memang mepengaruhi seseorang. Tapi again, kita punya nilai-nilai kebaikan yang ditanamkan orang tua kita sejak kita kecil. Kita punya akal dan pikiran. Jadi jika ada orang korupsi lalu apakah yang disalahkan orang tuanya? Hell… NO!
 
Semoga kalian tubuh menjadi manusia yang mencintai kemanusian dan penebar segala kebaikan. Amin..


Kembali ke pertanyaan diatas. Lalu apa yang akan saya lakukan jika anak saya ternyata gay? Pertama, Bapake pasti bakal shock berat. Ngamuk-ngamuk. Lempar henpoo… eh ga jadi, lempar piring and so on.. and so on. Saya kemudian akan memintanya untuk tenang dan membiarkan saya berkomunikasi dari hati ke hati dengan si anak.
Dari dulu, kepada anak-anak, saya selalu meminta mereka untuk jujur. Bercerita apapun yang mereka rasakan, mereka pikirkan. Saya tahu sebagai Ibu saya tidak selalu bisa berada di sisi mereka. Karena itu dengan bercerita, setidaknya bisa mengganti waktu yang saya lewatkan bersama mereka. Kadang mereka juga diam sih, karena takut saya atau pak Gentur marah jika tahu apa yang baru mereka lakukan. Ini memang jadi peer buat kami berdua. Kurangin marah-marah, woy…!
Kedua mau tidak mau yang akan saya lakukan adalah menerima kondisinya dan saya ajak bicara. Ga mau terlalu mengintrogasi sih, takut jatuhnya malah intimidasi. Saya akan bilang sama dia, bahwa bagi saya tidak ada yang salah dari dirinya. Tapi dia harus ingat sebagai muslim, Al-Quran adalah pedoman hidup kita. Mungkin bagi saya dia tidak salah, tapi jika tidak dibenarkan Al-Quran, maka itu yang menjadi arah hidup kita. Saya akan minta dia untuk semakin mendekatkan diri pada Tuhan. Mengalirkan energinya untuk hal-hal positif.
Kok saya kesannya malah tidak mendukung anak saya yah, jika ternyata dia Gay? Yah, sejujurnya I have no issues with LGBT. I don’t mind to support them having live as normal people. But honestly, I am afraid my children grow up like them. I hope, it’s not gonna happen…
 
 

Thursday, February 11, 2016

Apes


Mungkin saya sedang apes. Pertama kali menjajal peruntungan dengan mencoba berkarir di dunia baru, ehhhh…. Industrinya malah sedang terpuruk. Ancaman pemutusan hubungan kerja saat ini terus membayangi saya dan teman-teman lain. Tapi sebenarnya bukan industri tempat saya bekerja saja yang sedang terseok. Pasti kalian sudah baca kan kalau Ford Indonesia beberapa waktu lalu memutuskan untuk menutup kantor mereka di Indonesia. Media tempat dulu saya bekerja juga sudah gulung tikar bulan Agustus tahun lalu, yang disusul dengan media-media lain.
Yah.. Ekonomi memang sedang melambat. Saya memang tidak ahli menjelaskan apa yang terjadi saat ini. Tapi bagi industri yang tidak kuat menghadapi resesi, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin sulit untuk dihindari.
 
Kalau saya ditanya (macam pertanyaan reporter tvOne) bagaimana perasaan saya saat ini? Surprisingly, Biasa ajah tuh… Ga ada perasaan takut gimana nanti bayar cicilan rumah dan cicilan lainnya. Ga khawatir juga nanti masih bisa bayar kebutuhan sehari-hari atau ga? Mungkin karena saya percaya, saya punya Tuhan yang sangat baik. Yang (kadang-kadang) selalu memberikan apa yang saya mau. Terlebih, ketika saya ceritakan perihal ini kepada suami, Ia pun dengan enteng hanya bilang; “Ok, nanti kamu bantuin aku jualaan ajah yah...” Ini juga yang membuat saya lebih tenang.
Atau mungkin juga berkaca pada pengalaman saya dulu yang tiba-tiba memutuskan untuk berhenti kerja, padahal saat itu pendapatan saya lebih besar dari suami. Tapi kami berdua survive-survive saja tuh. Yah… memang sih ada yg harus di adjust. Misalnya kalau sebelumnya bisa tiap minggu ngemol dan mamam enak, tapi setelah tidak bekerja cukup satu bulan sekali. Atau lebih sering masak dan mengurangi jajan. Intinya adalah, cukup atau tidak cukup tergantung bagaimana kita pintar-pinta mengatur saja.

Jujur saat itu saya memang sangat khawatir dan agak-agak belum siap untuk menurunkan standar hidup. Beruntung saya punya pak Gentur yang selalu jadi pelampiasan ketika saya sedang down (maafkan akuhhhh yah suamikuhhh..! hehe…) dan sahabat-sahabat terbaik yang selalu mentraktir saat kongkow, sehingga saya bisa melewati masa-masa sulit itu.

Dengan beberapa adjustment tadi, saya bahkan tidak perlu membobol tabungan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Kami hidup cukup kok. Masih bisa makan 3x sehari, tanpa perlu berhutang sana-sini.

Berangkat dari situ, saya lebih tenang menghadapi kondisi apapun terkait status saya sebagai pekerja saat ini. Bahkan kalaupun saya harus kehilangan pekerjaan, sepertinya saya tidak akan bersikap reaksioner dengan menuntut perusahaan atau apalah. Memang kondisinya lagi begini, kita bisa apa?

Dan bukan pula saya tidak bersimpati dengan pekerja-pekerja lain yang sudah kehilangan pekerjaan. Tapi, hey… life must go on.  Ini terjadi pada hampir semua sektor ekonomi loh. So, prepare for the worst. Percaya saja, rejeki sudah ada yang atur. Yang kita perlukan hanya bekerja lebih keras dan menyerahkan semuanya pada yang diatas.
"Tapi lo kan punya suami, met. Masih ada yang support. Kalau yang kena PHK suami yang istrinya tidak bekerja, gimana?" Kata teman saya suatu hari. Well, that's why I said always be prepared for the worst. I know maybe talk is cheap, tapi sampai kapanpun yang namanya masalah pasti akan selalu ada. So, again, be prepared for the worst!

Gitu yah... This is just my two cents.. Please don't be so offended! :)