Monday, April 28, 2014

Anak ASI ga gampang sakit?

Sejak hamil anak pertama, seperti ibu-ibu pada umumnya, saya selalu terobsesi untuk memberikan yang terbaik untuk anak saya. Mulai dari ASI eksklusif, Mpasi rumahan, sampai imunisasi saya lakukan. Alhamdulillah, Danis, anak pertama saya tumbuh sehat, pintar, kuat dan jarang sakit hingga saat ini diusianya menjelang 4 tahun.

Pun anak kedua, saya lakukan hal yang sama. Malah si kecil lebih 'beruntung' dari kakaknya. Dia tidak pernah sekalipun saya tinggal hingga berhari-hari seperti kakaknya dulu. Sampai sekarang si kecil masih menyusu, walaupun harus campur susu tambahan saat saya tinggal bekerja.

Tapi yang membuat saya heran, si kecil ini mudah sekali sakit. Dia sudah dua kali menginap dirumah sakit karena bisul dan karena rota virus. Belum lagi langganan batuk pilek, yang bisa dibilang hampir sebulan sekali. Saya sedih kok bisa yah? Padahal makannya bagus. Sayur dan buah suka. Bahkan sampai sekarang masih ASI. Kok bisa yah? Katanya anak ASI jarang sakit?

Meski sering sakit, saya termasuk yang 'pelit' kasih obat. Saya rawat biasa saja. Paling kasih obat diwaktu malam hari, agar bisa tidur pulas. Itupun hanya paracetamol, atau obat-obat dosis ringan yang dijual dipasaran.

Sempat ada tetangga yang 'protes' atas cara saya merawat anak yang sakit ini. Dia suka mengeluh anaknya jadi tertular. Yah sedih dianggap punya anak bawa 'wabah' penyakit.

Dalam kasus ini, saya memang punya pandangan berbeda dari tetangga-tetangga saya. Mereka, menurut saya, gampang sekali memberi obat ke anak-anak mereka. Padahal kalau hanya common cold harusnya bisa sembuh sendiri. Memang sih, rasanya tersiksa banget saat anak sakit. Tapi hal itu tidak membuat saya lantas begitu mudah memberi obat. Apalagi sampai harus ke dokter. Kalau bukan menurut saya urgent, tidak perlu lah ke dokter.

Tapi hari ini, saya akhirnya nyerah dan membawa si kecil ke dokter karena batuk pilek yang tidak kunjung sembuh selama hampir sebulan. Saya bawa ke dokter, karena tadi malam dia kembali demam. Kalau dihitung dalam sebulan ini dia sudah tiga kali demam. Jadi pilek dan batuk sudah mau sembuh, lalu tiba-tiba demam lagi dan batpil kembali muncul.
Si kakak juga saya bawa, karena ikut batpil meski tidak demam.

Yah dokter belum tahu sih, apa penyebabnya. Dia bilang perlu pemeriksaan lab lebih jauh. Obat yang diberikan, hanya untuk meredakan batpil dannnn.. Antibiotik! Nah, ini yang saya bingung, wong dia belum tahu penyebabnya apa kok dikasih antibiotik?

Ini yang membuat saya kadang malas ke dokter. Kenapa sih ga dicari tahu dulu penyebabnya apa, baru dikasih obat? Kenapa tidak bersabar menunggu hasil lab, baru diberikan antibiotik jika memang diperlukan. Rasanya ke dokter itu hanya buang-buang waktu. Sudah antri lama, mahal, dokternya males pula cari tahu penyakit pasiennya.

Anyway kembali lagi soal ASI. Lalu benarkah anak ASI itu tidak gampang sakit? Dalam kasus anak saya, kayanya pernyataan yang selalu digembar-gemborkan aktivis ASI itu tidak selalu benar. Yah mungkin saja, anak saya special case. Atau mungkin juga, seandainya si kecil tidak diberi ASI justru dia akan lebih sering lagi sakit?

Wal Hu Allah Hu Allam. Yang jelas seperti orang tua pada umumnya, saya hanya ingin anak-anak sehat. Tidak tega rasanya melihat mereka merengeng kesakitan. Semoga besok, mereka bisa kembali ceria.

Amin..

Sunday, April 20, 2014

Danis Suatu Hari

Danis suatu hari:

Danis: ih, ibu sepatunya jelek banget. Robek.

Me : iyah, sepatunya kan udah lama. Ga pa-pa masih bisa dipake.

Danis: bu, beli yang baru dong..

M: yah, ibu ga punya uang. Nanti ajah ah, abis gajian.

D: (terdiam) Ibuu.. kalo aku udah gede, aku mau kerja di kantor kaya bapak. Nanti kalo aku gajian, aku beliin ibu sepatu yang baru yah..

M: *lsg mewek penuh haru


Monday, April 7, 2014

Perempuan Hari Ini

Sebut saja namanya Sari. Umur sekitar 33 tahun. Belum nikah dan 'belum' punya pacar. Penampilan? Yah relatif lah. Karir? Hmm.. Not bad cenderung OK. Yang jelas dia sudah bisa beli rumah sendiri dan gaji sudah dua digit.

Setiap ada kesempatan, dia selalu curhat tentang seorang yang tidak dia suka namun selalu mengejarnya. Pria itu menurut saya orang baik. Karena kebetulan saya kenal dia. Umurnya lebih muda sedikit dari Sari. Soal penampilan, jika disandingkan dengan Sari bagi saya cukup serasi kok. Tapi bagi Sari, pria itu tidak se-kasta dengan dia. Tidak hanya dari isi kantong, tapi juga isi kepala. Sari sering bercerita, bagaimana pria itu bercerita tentang sesuatu yang sudah Sari ketahui sepenuhnya.

"Yah dia kan pengen bikin lo terkesan. Wajar ajah sih," kata saya suatu hari. "Iyah, tapi dia ngasih informasi yang gw udah tau bahkan sebelum dia lahir," balas Sari, hiperbola. Hehe..

Selain pria itu, Sari juga sering bercerita tentang cinta terlarangnya dengan lelaki lain yang sudah dia pacari sekitar 3 tahun. Lelaki itu sudah beristri. Saya lupa sudah punya anak atau belum. Menurut Sari, lelaki itu tipe dia banget. Mapan, penuh kasih sayang dan pintar.

"Yah jelas lah mapan, dia kan udah bertahun-tahun kerja. Penuh kasih sayang? Yah, namanya pria beristri udah khatam lah soal ginian. Kalau pinter, itu relatif. Namanya juga orang jatuh cinta, yang dilihat yang indah-indah saja," celoteh saya waktu itu menunjukan ketidaksukaan atas pilihan Sari.

Menurut Sari, hubungan mereka sudah tahan serius. Mereka beberapa kali berlibur bareng. Hanya si lelaki belum berani menikahi Sari, dengan alasannya sang istri tidak mau dicerai. Hah.. Klise banget bukan?

Lalu saya bilang sama Sari. It's very simple. If he loves you he'll marry you without excuse. Dan seperti biasa, Sari akan mendengar saya saat itu dan akan lupa keesokan harinya.

Cerita tentang Sari ini sebenarnya tidak hanya satu. Beberapa teman ada juga yang punya kisah mirip dengannya. Saya sebenarnya tidak ada masalah. Semua orang bebas untuk memilih. Tapi mungkin teman-teman saya ini lupa, bahwa pilihan mereka akan semakin terbatas seiring dengan beranjak usia.

Anyway, apapun itu, semoga kita selalu bahagai ajah deh temans.

Mari merayakan hidup!

Wednesday, April 2, 2014

Rentenir itu bernama Perbankan Nasional?

Seorang teman baru saja membeli rumah bekas. Karena tidak punya uang tunai, makanya pilihannya apalagi kalau bukan pinjam ke bank. Pilihan jatuh pada sebuah bank syariah nasional, setelah beberapa bank mainstream menolak memproses take over KPR. Mungkin karena angkanya tidak besar dan prosesnya ribet, jadi mereka males urus.

Angka kredit teman saya memang tidak besar. Hanya 155 juta. Tapi bank syariah tadi setuju untuk memberikan dengan bunga flat 13,50% per bulan! (gilaaakkk.. Ngalah-ngalahin rentenir banget kan).

Tiap bulan, teman saya ini bayar cicilan tetap sebesar Rp. 2.360.251,48 selama 10 tahun. Yang berarti tiap bulan juga, dia harus bayar bunga sebesar Rp. 1.068.584,82! Gilak banget yah. Belum lagi biaya akad, pajak notaris dan sebagainya yang harus dibayar sekitar 20 jutaan.

Suku bungan acuan Bank Indonesia memang lagi tinggi saat ini 7,5%. Tapi apa memang bank bisa menentukan bunga seenak jidat kaya gini yah? Herannya lagi, namanya bank syariah tapi netapin bunga tinggi kaya rentenir dan prosesnya yang memakan waktu lebih dari 3 bulan. Bahkan hingga saat ini teman saya itu belum juga akad.

Saya sendiri pakai bank konvensional. Kena buka tetap selama 2 tahun, lalu bunga naik lagi pada tahun 3 dan 4 dan sisanya floating. Agak susah hitungnya kalau floating. Tapi sepertinya, tidak jauh beda.

Kondisi ini yang menurut saya membuat orang semakin sulit punya rumah. Harganya menggila, proses kredit yang sulit dengan bunga tinggi. Ga heran kebutuhan primer ini, hanya dikuasai orang-orang tertentu. Padahal kita punya kementerian sendiri yang khusus mengurusi rumah: Kementerian Perumahan.

Apa saja yah kerjanya mereka? Entah lah..