Friday, March 18, 2016

Saya dan Sekolah Danis


Danis dan Mirza sedang latihan Drumband

Satu tahun lalu saya memasukan Danis ke sekolah Taman Kanak-Kanak. Sebagai orang tua, tentu saya ingin memilih sekolah yang terbaik, sekolah yang rata-rata membutuhkan biaya masuk dan biaya bulanan yang tidak sedikit. Setelah berhitung, riset sana riset sini, pilihan saya jatuh pada sekolah yang dikelola oleh Yayasan TNI AU.
Biaya masuknya relatif tidak terlalu mahal. Sekitar tujuh jutaan kalau saya tidak salah, sudah termasuk uang seragam dan kegiatan. Lokasinya juga tidak jauh dari rumah dengan kurikulum yang (berdasarkan beberapa testimoni) cukup bagus. Sementara biaya per bulan sebesar Rp 275,000. Besar sih menurut saya untuk ukuran sekolah TK (walaupun pasti ada yang lebih mahal lagi). Tapi OK lah, saya dan suami masih mampu.
Masalah (kalau bisa saya sebut masalah) kemudian mulai muncul hanya selang beberapa hari setelah Danis mulai aktif sekolah. Ternyata biaya yang saya harus keluarkan tiap bulan tidak pernah persis Rp275,000. Selalu ada tambahan biaya-biaya lain. Mulai dari uang kas sebesar Rp 50,000 per bulan, cicilan baju drumband (yang kalau dibayar tunai mencapai Rp 500,000!) bahkan untuk latihan drumband pun saya ‘dipalak’ Rp150,000 untuk konsumsi anak-anak.
Belum lagi ketika ada perlombaan ini-itu, orang tua kembali dibebankan. Lalu pertanyaan saya, uang kegiatan yang sudah saya bayar dimuka itu untuk apa? “Ohh… itukan untuk anak-anaknya bu. Kita kan tetap harus sewa bus dan menyediakan konsumsi buat ibu sebagai pengantar,” ujar seorang ibu teman Danis, di grup BBM.
Waktu sekolah Danis tersisa 4 bulan lagi. Dan kemarin saya mendapat undangan rapat orang tua murid untuk membahas beberapa kegiatan yang tersisa mulai dari lomba drumband sampai pentas seni yang saya asumsikan pasti akan ada tuntutan cost lagi.
“Yaela… pelit amat sih, buat anak ajah perhitungan,” mungkin itu anggapan orang terhadap saya. Terserah yah orang mau bilang apa, tapi sejujurnya saya merasa dibohongi pihak sekolah. Jika dari awal saya tahu akan dibebani biaya lain-lain yang (kadang) besarnya melebihi SPP-nya sendiri, tentu saya akan berpikir ulang memasukan anak saya ke sekolah itu.
Memang sekolah memberi pilihan untuk tidak mengikuti semua kegiatan. Lalu sebagai orang tua apa saya tega membiarkan Danis tidak ikut latihan drumband, sementara semua teman-temannya ada disana? Tiap orang tua pasti sadar kemampuannya. Kalau dia hanya mampu bayar sekolah sebulan Rp250,000, tidak mungkin anaknya dimasukan ke sekolah berbiaya Rp500,000 per bulan.
“Yaudah… sekolah kan juga butuh duit. Kalau semua dibuka didepan, mungkin yang daftar jadi ga banyak,”. Ini pendapat pak Gentur. Ga salah sih. Tapi coba bayangkan orang tua yang hidupnya pas-pasan? Kasian ga sih tiap bulan ada ajah pengeluaran tambahan yang harus dibayarkan?
“Eh.. sama guru ga boleh pelit! Dia loh yang bikin anak lo pinter..!” Iyah sih. Tapi kalau saya mikirin nasib guru, terus nasib saya gimana? Tiap bulan loh, selalu ada biaya ekstra yang harus saya bayarkan dan membuat cash flow berantakan.
“Udaaahhh.. Homeschooling!,” duuhhh.. saya kayanya belum berani mengambil langkah ini. Bukan apa-apa, bagaimanpun juga kita hidup di lingkungan dimana sekolah menjadi parameter tingkat pendidikan seseorang. Saya juga ga yakin bisa mengajarkan mata pendidikan yang tidak saya kuasai seperti science, matematika dan sebagainya.
Pada akhirnya saya cuma bisa pasrah. Yaudahlah yah.. mau gimana lagi? Sebagai catatan bagi orang tua yang akan menyekolahkan anaknya, siap-siap yah.. akan amat sangat banyak biaya tak terduga yang (kadang) bikin sakit kepala.
Satu tip dari saya, pastikan kita menurunkan standar kita ketika memilih sekolah. Misalnya kita mampu membayar tiap bulan Rp500,000, turunkan menjadi Rp250,000 sehingga sisannya bisa dimanfaatkan untuk biaya tak terduga tadi.
suasana latihan Drumband sekolah Danis
 

 
 
 

No comments: