Sunday, August 24, 2014

Office Syndrome

Seorang teman sering mengeluh soal pekerjaannya. Awalnya saya tidak menanggapi. Karena bagi saya, kerja dimana saja sama. Konfliknya-pun tidak jauh berbeda.

Sampai suatu hari dia mengirim pesan, bahwa dia sudah benar-benar tidak sanggup lagi bekerja di tempat itu. Setiap sampai kantor, teman saya ini kerap menderita sakit kepala hebat. Dia menyebutnya office syndrome. Karena berkali-kali memeriksakan diri ke dokter, hasilnya selalu bagus. Tidak ada masalah kesehatan yang signifikan. Ia berkesimpulan, bekerja di kantor itulah yang membuatnya sakit kepala.

Ada beberapa faktor yang menurut teman saya ini menjadi pemicu ketidaknyamananya. Mulai dari load kerja sampai dengan bos yang tidak menyenangkan.

Jujur saya sedih mendengar ini. Sedih karena dia sampai harus mengalami stres berat karena bekerja. Padahal kalau dipikir-pikir, load kerja atau bos nyebelin itu biasa banget kan? Apalagi rasa stres yang dirasakan teman saya ini, juga meningkat ketika dia mengingat hingga saat ini belum juga mendapatkan tempat kerja baru.

Dari situ sebenarnya saya sering memberinya nasihat. Bahwa kita perlu kerja. Bahwa mencari kerja itu tidak mudah. Karena itu kita harus sabar. Kita harus banyak bersyukur, bla.. bla.. bla.. Apalagi secara finansial, salary yang diterima teman saya ini terbilang tinggi.

Saya bisa bilang begini, karena belajar dari pengalaman yang pernah emosional ketika memutuskan berhenti. Sempat culture shock juga karena biasa hidup dengan dua pendapatan, lalu tiba-tiba hanya ada satu pemasukan. But I never regret it.

Anyway, beruntung saya masih punya suami yang mensupport tidak hanya financially, tapi semua kegilaan saya (hehe..) Jadi walaupun hidup pas-pasan, tapi at least kami tidak kelaparan.

Sementara suami teman saya ini, hanya seorang wiraswasta yang tidak bisa diandalkan untuk mencukupi segala kebutuhan. Hal ini yang membuat dia (katanya) semakin dilemma.

Berbicara soal resign, saya sendiri dulu pernah begitu menyukai pekerjaan saya. Tapi sayang, benefit yang diberikan perusahaan terbilang minim sehingga saya tidak betah, kena office syndrome dan akhirnya mencari pekerjaan baru.

Dasar manusia, ketika keinginan terwujud saya mengeluh lagi karena pekerjaannya tidak saya suka. Setiap ngantor, lagi-lagi saya kerap kena office syndrome. Dari situ saya sadar, gaji besar tidak menjamin kita semangat bekerja.

So what I’m trying to say is : It’s not a big deal quitting from terrible job, but you have to ready with all the consequences. Beda cerita kalau kita resign, tapi sudah mendapatkan pekerjaan baru. Karena yang bikin pusing, kalau resign dan jadi pengangguran. Hehe..

Yah, hidup memang sebuah pilihan. Tapi apapun itu, yang perlu digarisbawahi adalah : bahwa sampai kapanpun, kita tidak akan pernah mendapat semua yang kita mau.

Jadi, mari kita banyak bersyukur.