Friday, December 18, 2015

Pertemanan

Semenjak jadi Ibu, which is about 5 years ago, otomatis semua gerak-gerak dan kegiatan saya sangat terbatas. Apalagi saya bekerja alias sebagai workingmom, waktu saya habis untuk urusan rumah, kerja dan kemacetan jalan yang semakin menggila. Jadi boleh dibilang, untuk urusan bersosialisasi saya semakin membatasi diri. Bukannya sombong atau apa yah, udah ga sempet shaayyyy… ada waktu luang dikit mending buat bonding sama dua anak laki-laki tampan saya.
 
Untuk urusan perteman juga demikian. Jujur saya agak sulit untuk memulai pertemanan baru, kecuali dengan teman-teman lama saya. Pun jika ada salah satu dari mereka yang tiba-tiba, saya rasa menjauhi saya, saya tidak punya energi untuk sekedar menanyakan “Lo kenapa sih, kok di WA grup diem aja?”.

Again, bukannya saya ga care yah sama teman-teman sendiri. Hanya saja, guys come on… hidup saya sudah banyak drama. Udah sik jangan ditambah lagi.

Kalau ada apa-apa, ya langsung diomongin saja. Karena saya percaya, teman-teman saya tidak pernah bermaksud menyakiti saya, jadi saya pun berharap teman-teman saya tahu bahwa saya tidak bermaksud menyinggung atau menyakiti mereka. You’ve got what I mean?

Kalau salah-salah kata, wajar lah.. namanya juga manusia. Udah ga perlu sensi-sensian. Tapi saya paham seperti, seperti yang saya selalu bilang, berteman itu seleksi alam. Kita, mungkin, bisa memilih siapa yang akan jadi teman kita. Tapi at the end, waktu yang akan menentukan seberapa lama pertemanan itu akan bertahan.

PS : Tulisan ini diilhami dari ajakan makan siang hari ini dari beberapa teman kantor, beda departemen. A bit surprise, dengan sikap saya yang agak-agak antisocial, ternyata masih diajak juga. *anaknya suka merendah *uhuk

Saturday, October 24, 2015

Am I Good Mother?

Yes, am I good mother? Pertanyaan ini lagi sering-seringnya mengusik pikiran saya beberapa hari terakhir ini. Terlebih karena si kecil baby Einar terlihat makin dekat ke si bibi daripada saya. Apalagi kemarin malam dan malam ini, dia ngamuk ga mau tidur dengan saya. Biasanya, kalau dalam situasi seperti ini saya lebih memilih menyerah dan membiarkan dia tidur dengan bibi.

Tapi tadi pak gentur protes, kenapa saya tidak coba untuk merayu agar si kecil bisa kembali tidur dengan kami. Sudah saya jelaskan, anak ini keras kepala. He always gets what he wants. 

Saya sendiri juga bingung kenapa si kecil tidak ingin tidur dengan saya malam ini. Padahal seharian ini kami bersama-sama. Weekend saat yang tepat untuk bonding. Karena itu saya coba merayu dia lagi, sambil saya gendong menuju kamar kami. 

Bukannya diam, dia malah semakin menjadi-jadi. Suara tangis Einar yang memecah telinga ditengah kami yang lelah membuat emosi pak Gentur meninggi. Diambil anak itu lalu dimarahi. Awalnya saya sudah pasrah, membiarkan Einar kembali tidur sama bibi. Tapi pak gentur sudah tidak mau mengalah, memaksa sambil marah-marah pada bayi 3 tahun ini agar dia mau diam.

Tentu, anak yang belum mengerti apa-apa itu tidak mau menuruti perintah apapun, bahkan dari kedua orang tuanya sendiri. Saya memutuskan untuk menawarkan payudara saya, agar Einar yang sudah lama disapih, kembali menyusu. Dia pun diam dan kemudian tertidur.

Apa yang terjadi ini, kata pak Gentur, adalah salah saya. Saya sering pulang bekerja langsung tidur, tidak menidurkan anak-anak terlebih dahulu. Menurut dia, saya jarang mengoptimalkan waktu senggang saya bersama anak-anak. Sedih dengarnya.

Tapi mungkin yang pak Gentur bilang memang benar adanya. Ketika memutuskan untuk menjadi orang tua, harusnya saya sadar dengan segala konsekuensinya. Harusnya saya tahu apa prioritas saya. 

Mungkin selama ini, saya memamg terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Pikiran saya terkotakan, bahwa saya berhak punya me time karena selama 5 hari dalam seminggu, 13 jam sehari, saya lelah bekerja membantu keluarga mencari nafkah.

Padahal me time saya tidak aneh-aneh. Saya jaraaanggggg... sekali meninggalkan anak-anak saat libur kecuali untuk tidur. Adalah peraturan tidak tertulis dari pak Gentur, bahwa waktu libur sudah seharusnya didedikasikan untuk anak-anak.

Pun... itupun sudah saya lakukan, tetap saja sulit rasanya menjadi ibu yang baik. Disinilah saat-saat dimana saya ingin sekali berhenti bekerja. Atau jikapun ingin tetap bekerja, mungkin sudah saatnya saya melepaskan semua keinginan dan cita-cita saya dan menyalurkannya dengan lebih mengurus anak-anak. 

Lupakan me time. Lupakan pertemanan. Toh sudah ada sosial media. Selesai bekerja, langsung pulang. Ga usah mainan hp setelah sampai di rumah. Sesering mungkin peluk, cium dan katakan kepada mereka betapa saya amat sangat menyayangi meeka. Sebisa mungkin, penuhi apa yang mereka mau. Ambil alih semua pengurusan anak-anak di akhir pekan. Jangan tidur saat mereka tidak tidur.

Percaya atau tidak, hampir semua poin diatas sudah saya lakukan. Tapi apakah saya termasuk ibu yang baik? Am I good mother?

Hanya anak-anak dan Tuhan yang tahu.......


Wednesday, October 21, 2015

Review : Bridge of Spies

Ok, dalam kesempatan kali ini saya ingin mereview film yang saya tonton tadi malam : Bridge of Spies. Jujur, saya tertarik nonton film ini karena ada muka Tom Hanks disitu. Ibaratnya, dengan ada nih orang sudah jadi jaminan mutu film yang dia mainkan pasti bagus.

Dan anggapan saya ini tepat. Filmnya memang layak ditonton. Makanya meski sibuk kerja, saya bela-belain nih bikin review (maap lebay).

Sepajang 141 menit, film ini isinya ngomoooongggg… ajah. Tapi ajaibnya, saya tetap betah menikmati dialog film yang diambil dari kejadian nyata ini. Penonton lain juga terlihat demikian. Begitu film habis, taadaaaa… muncul nama Steven Spielberg sebagai sutradara. No wonder lah yah.. nih film keren banget.

Anyway, Bridge of Spies bercerita tentang seorang pengacara yang diberi tugas untuk membela seorang warga negara Jerman Timur atas dituduh sebagai mata-mata Soviet. Di masa Perang Dingin, dimana setting kisah ini berlangsung, Uni Soviet dan Amerika Serikat tengah berlomba untuk menjadi negara terkuat dengan ideologi yang mereka usung, melalui koalisi militer, kampanye propaganda besar-besaran, spinonase dan sebagainya.

Karena itu, penangkapan Rudolf Abel (Mark Rylance) sebagai mata-mata menarik perhatian seluruh warga Amerika. Terlebih karena Abel menolak untuk bekerja sama dengan AS dengan membocorkan informasi terkait senjata nuklir Soviet, sehingga desakan sang mata-mata untuk di hukum mati terus menguat. Namun sebagai negara yang menjunjung hukum, pemerintah AS mengutus seorang pengacara untuk membantu Abel melewati proses hukumnya.

Adalah James Donovan (Tom Hanks), seorang pengacara khusus bidang asuransi yang diminta untuk membela Abel. Donovan awalnya sempat menolak karena Pidana bukan bidang hukumnya. Belum lagi ancaman akan didiskriditkan karena dia membela seorang mata-mata. Namun akhirnya Donovan menerima juga tugas tersebut.

Tom Hanks berperan sangat apik sebagai pengacara yanh bertugas membela seorang mata-mata Soviet pada masa Perang Dingin 

Seperti yang sudah diperkirakan, tugas Donovan tidak mudah. Bahkan hakim yang memimpin jalannya persidangan, sudah bersikap sinis terhadap Abel. Berbagai keberatan yang disampaikan Donovan selalu ditolak mentah-mentah. Hingga suatu hari, Donovan sengaja mengunjungi hakim di rumahnya untuk menyampaikan pandangannya. Ia meminta agar Abel tidak dihukum mati dengan pertimbangan si mata-mata bisa digunakan sebagai alat pertukaran jika semisal ada mata-mata Amerika yang tertangkap.

How do you sure about this?” tanya si pengacara.

Well, I’m working for Insurance. Sudah tugas saya untuk memprediksi apa yang terjadi di masa depan,” kira-kira seperti itulah jawaban Donovan.

Hakim akhirnya menjatuhkan hukuman 30 tahun penjara bagi Abel, yang langsung mendapat penolakan keras dari masyakarat. Di saat itu juga, berbagai terror dialami Donovan dan keluargnya karena dinilai telah membeli Abel.


Hanks + Spielberg = jaminan mutu! Hehe..

Ketika proses hukum terhadap Abel berjalan, di saat yang sama Uni Soviet berhasil menembak pesawat mata-mata canggih milik AS dan menahan sang pilot. Di saat yang hampir bersamaan juga, Jerman Timur, yang saat itu telah mendeklarasikan diri sebagai negara dan berpihak kepada Soviet menahan seorang mahasiswa AS atas tuduhan sebagai mata-mata.

Badan Intelejen Amerika (CIA) langsung mengutus Donovan untuk menukar Abel dengan Francis Gary Powers dan juga si mahasiswa, Frederic Pryor jika memungkinkan. Donovan ditugaskan, karena pemerintah AS tidak mau terlibat langsung dalam proses pertukaran tersebut. Donovan juga diminta untuk tidak menceritakan kepada siapapun tentang tugasnya itu, termasuk kepada istrinya sendiri.

Di kala perang dingin, sekutu AS adalah Berlin Barat. AS juga bahkan tidak mengakui Jerman Timur sebagai negara. Karena itu tugas Donovan tidaklah mudah. Menukar satu warga Soviet yang mereka tahan dengan 2 warga AS.

Lalu, berhasilkan Donovan menjalani tugas berbahaya ini? Nah… tonton sendiri ajah yah filmnya. Hehe… (ga mau spoiler)

Anyway, yang bikin film ini keren apalagi kalau bukan acting para pendukungnya. Belum lagi setting tiap scene yang benar-benar dibuat seperti kondisi di jamannya. Jadi selain menikmati dialog, yang  juga mengasyikan dari film ini adalah memperhatikan tiap detil adegan demi adegannya. Pokoknya jangan sampai kelewatan yah ga nonton film ini. Hehe..




Wednesday, October 14, 2015

Gerangan Cinta

Pagi ini sesaat setelah menyalakan komputer, saya memutar lagu Gerangan Cinta yang dibawakan secara apik oleh grup musik Java Jive. Hayooo ngacung, siapa yang masih ingat lagu ini? Hehe.. ketauan deh angkatan berapa.

Entah kenapa lagu ini langsung mengirim saya di masa-masa ketika mulai menjejakan kaki di dunia kerja. Tiba-tiba saya merasa melow. Mengingat dulu jatuh bangun (yaelah lebay banget) mencari berita untuk sebuah media cetak harian nasional. 

Menghadapi tekanan deadline dan tuntutan redaktur untuk mengasilkan informasi yang layak untuk dibagi kepada pembaca koran kami. Memposisikan diri sebagai orang yang paham peta perpolitikan nasional ketika ditempatkan di desk politik atau orang yang tahu potret industri tambang dan migas ketika diharuskan meliput desk energi dan sebagainya.

Masa-masa yang diwarnai beraneka mimpi dan harapan. Ingin punya ini, ingin punya itu. Ingin bisa ini, bisa itu. Merasakan ini, mengalami itu. Lucunya, saat ini sebagain sudah terwujud, sebagaian masih mengambang (hik.. hiks.. hiks..).

Masa saat mencari jati diri, diwarnai kisah percintaan yang datang silih berganti (ishhh...). Naksir si A, A-nya gebet si B. Dideketin si C, tapi saya mau-nya sama si D. Hihi.. nulis ini jadi senyum-senyum sendiri. Inget sakitnya waktu patah hati dan indahnya saat jatuhnya cinta. (Hehe..)   

Dengar lagu ini juga membuat saya merindukan kamar kontrakan saya. Walaupun terletak di pemukiman kampung sempit, tapi kamar saya itu nyaman banget. Kamar tempat saya mencurahkan segala keluh kesah, tempat kontemplasi, mencari inspirasi dan menyusun strategi untuk meraih mimpi. Bahkan tempat saya dan pak gentur memulai hidup kami bersama.

Ok, segini dulu deh mengenang romantisme masa lalu. Nanti ga mulai-mulai kerja deh. Kita lanjut pada kesempatan yang berikutnya yah. Hehe..

Monday, October 12, 2015

Jaldis

Duh.... Udah lama banget ga ngeblog. Padahal banyak hal yang ingin dishare di diary virtual ini. Tentang perjalanan rombongan sirkus (saya, pak gentur dan anak-anak) ke Bali, beberapa minggu setelah dari Yogya dan kembali ke Yogya untuk merayakan hari raya.

Masalahnya klise sih. Antara tidak punya waktu dan males. Tapi kali ini saya sempat-sempatin nulis. Kebetulan saya sedang Jaldis a.k.a perjalanan.

Yah seperti buruh pada umumnya, perjalanan dinas memang menjadi suatu yang dinantikan. Selain bisa sebentar keluar dari rutininitas, jaldis kerap dinantikan karena adanya tunjangan dinas dan beberapa privilege lainya. Bagi saya jaldis adalah momen dimana saya bisa sedikit menikmati waktu sendiri saya atau me time, meski kadang suka sedih juga kalau teringat harus ninggalin bocah di rumah. Momen dimana saya bisa ga 'ngantor' dan syukur-syukur jika tugasnya tidak padat. Kalau ternyata kerjaanya banyak, yah sami mawon (eh bener ga sih nulisnya gini).

Anyway meski happy jika dapat tugas luar kota, tapi maaf yah saya bukan tipikal buruh yang suka cari-cari jalan biar bisa jaldis, yang menurut pak Gentur "PNS banget tuh kaya gitu, cari-cari jalan habiskan duit negara buat perjalanan dinas". Masih ingat kan kejadian kementerian mana gituh yang ditugaskan membawa film-film Indonesia ke ajang International? Dimana para artis pada protes karena mereka selalu menggunakan duit dari kantong sendiri, sementara si staf kementerian yang sebenernya punya anggaran untuk mengcover para artis, tapi malah bawa keluarga mereka ke ajang tersebut?

Well saya bilang sama pak Gentur, para pemburu jaldis ini bukan hanya dilingkungan pemerintahan, di pegawai swasta juga banyak. Kadang yang bikin kesel, sebenarnya tuh buruh punya kerjaan lain yang lebih penting di kantor, tapi malah bela-belain jaldis. 

Anyway, pada akhirnya, yah kita kembalikan semua ke pribadi masing-masing. Ga mau usil juga. Biar mereka tanggung sendiri resiko dan segala konsekuensinya.

Tuesday, May 26, 2015

Long-weekend Gateway

Awal bulan ini, dalam rangka merayakan libur panjang, saya dan pak Gentur berencana untuk pergi ke Yogya. Well, sebenarnya rencana awal bukan ke Yogya sih. Ke tempat yang tidak perlu effort besar untuk sekedar melihat pantai. Saat itu pilihannya antara ke Anyer, Tanjung Lesung atau Pulau Seribu.

Tapi dasar yah, karena dua-duanya sok sibuk, belum juga booking tempat hingga H-2 keberangkatan, maka semua penginapan yang OK sudah fully booked. Saya sih sebenarnya sudah pasrah, yaudah lah.. di Jakarta ajah road show dari satu mall ke mall lain. Tapi pak Gentur yang keukeuh ingin pergi karena dia merasa tidak enak sudah terlanjur janji sama anak-anak mau lihat pantai.

Sempat berganti menyupir karena pak Gentur ingin istirahat. Tapi tidak bertahan lama, karena si kecil rewel ga mau ibunya nyupir.
Singkat cerita, seusai sholat Subuh hari Jumat di hari libur hari Buruh, kami nekad berangkat ke Yogya. Deg-degan sudah pasti. Apalagi mengingat kondisi mobil yang belum sempat di bawa ke bengkel, plesss klakson pakai acara mati pulak. But anyway, show must go on. Tekad kita sudah bulat buat pergi ke Yogya. Hehe..

Kami pilih jalur Selatan. Karena berdasarkan pengalaman, jalur utara cenderung lebih ramai bus-bus dan juga truk besar. Sedangkan berdasarkan mbah google, jalur selatan relatif lebih sepi dengan pemandangan yang indah meski jalurnya berkelok dan agak lebih jauh.

Berbekal hasil risetan di google dan waze, perjalanan kami bisa dibilang lancar-lancar saja. Semua plang petunjuk jalan, jelas terlihat. Macet di Jalur Nagrek sekitar 2 jam-an, istirahat makan siang di Banjar. Kemudian jalan rusak Majenang dan kembali istirahat makan maghrib di Banyumas. Akhirnya kami tiba dengan selamat di Wates sekitar pukul setengah 9 malam.

Nah, disini lah perjalanan kami agak-agak terganggu ketika Waze tidak menunjukan rute yang sesuai dengan petunjuk jalan. Karena ingin cepat sampai, waktu itu kami pilih ikut petunjuk Waze. Karena sesuai dengan fungsinya, aplikasi ini bisa menunjukan arah yang cepat dan menghindari macet. Tapi faktanya, kami nyasar sampai ke jalan buntu yang sempit, gelap gulita dan kanan kirinya sawah. Cakep banget dah..

Akhirnya buru-buru kita putar balik, kembali ke jalan besar Wates-Yogyakarta dan si Waze-pun saya matikan. Setelah 17 jam, Alhamdulillah kami sampai Sleman dengan selamat. Yeayyyy...

Oiya, berikut rute yang kita tempuh: Jakarta - tol Cikampek - tol Purbaleunyi - Bandung - Tasikmalaya - Ciamis - Banjar - Majenang - Cilacap - Banyumas - Kebumen - Purworejo - Wates - Yogyakarta.


Day 1

Pukul 6 pagi saya sudah bangun, gara-gara duo krucil yang juga sudah bangun. Padahal semalam saya baru bisa tertidur sekitar pukul 1 dini hari. Badan Danis dan Einar agak hangat dari semalam. Danis memang sudah batuk dari sebelum berangkat. Saya memberi mereka paracetamol dan berharap disaat bangun pagi, mereka sudah segar kembali.

Tapi ternyata masih demam juga. Si kecil malah tidak mau makan. Sempat kepikiran untuk dirumah saja hari itu, mengingat besok Subuh kami harus kembali lagi ke Jakarta. Tapi pak Gentur ingin rencana awal harus tetap dijalankan.

Kami berangkat sekitar pukul 10. Tujuan pertama adalah brunch di Jejamuran. Resto favorite yang lokasinya memang tidak jauh dari rumah Sleman. Kami sekeluarga kompak, semua makanan yang disajikan di Jejamuran enaaakkkkk. Tempatnya luas dan nyaman. Dan yang terpenting: murah! Hehe...

Kelar makan, kita langsung meluncur ke daerah Gunung Kidul. Tadinya sih kita ingin coba pantai lain disekitar Kidul. Tapi karena sudah cape, akhirnya kita balik lagi ke Pantai Sepanjang, pantai yang sama yang kita kunjungi waktu libur lebaran tahun lalu.
lunas sudah janji sama anak-anak untuk mengajak berlibur ke pantai. :)

Perjalanan melelahkan Yogya-Sepanjang yang ditempuh sekitar 3 jam, terbayar dengan cakepnya pantai ini. Walaupun ombaknya besar, tapi dipantai ini ada semacam sungai yang memecah ombak hingga tidak sampai ke darat, jadi aman banget buat anak-anak.

salah satu pemandangan di Pantai Sepanjang
Sayang Einar masih cranky. Dia ga mau ikutan mas-nya main air. Mungkin karena masih ga enak badan. Tapi alhamdulillah si demannya sudah turun.

Dinner

Menjelang maghrib, acara main-main air harus disudahi. Dalam perjalanan pulang, saya kepikiran House of Raminten. Tempat yang konon kabarnya lagi ngehits di Yogya, buat kita makan malam.

menikmati daging steak yang diletakan di batu panas. Mau tahu harga seporsinya? 30 Ribu saja. hehe..
Saya lupa lokasinya dimana. Pokoknya hanya mengandalkan Waze dan engingeennggg.. Kita sampai! Dan benar saja, tempat ini memang lagi happening banget. Saking happening-nya sampai waiting list yang mau makan, panjaaangggg...

Lumayan frustrasi mengingat kita sudah keroncongan berat, badan pegal-pegal dan memikirkan besok subuh sudah harus pulang ke Jakarta. Tapi pak Gentur keberatan kalau harus muter-muter cari tempat makan baru.

Setelah bolak-bolik tanya nomer antrian, akhirnya tiba juga waktu kami untuk makan malam di tempat ini. So far, saya puas sih dengan makanannya. Lumayan enak. Tempat asik walaupun rame banget. Ada free WIFI dan yang terpenting murah! Pantes banyak yang rela antri.

Day 2: Pulang

Selepas makan malam di House of Raminten, kami langsung pulang dan segera merapihkan barang-barang untuk bersiap kembali ke Jakarta. Badan sudah ga karuan rasanya. Lagi-lagi, untung anak-anak ga rewel. Sepanjang libur, saya selalu menyiapkan kudapan ringan, buah-buahan dan memastikan mereka minimal satu kali makan dengan sayur. 

Maka pagi-pagi sekali, selepas solat subuh kami berangkat kembali ke Jakarta. Kami tetap memilih jalur selatan, jalur yang sama saat kami berangkat kembali. Untuk mempersingkat waktu, saya sengaja membawa bekal untuk sarapan. Kami baru berhenti untuk istirahat agak lama saat makan siang di Restaurant PringSewu, Majenangan. Resto yang dari kilometer 65 sudah kasih pengumuman dan terus memberi pengumuman setiap beberapa kilometer.

Buat saya, Pringsewu cukup direkomendasikan buat yang sedang melakukan perjalanan lewat jalur selatan. Makanannya lumayan enak, harga cukup, dan pelayanan yang ramah. Kita bahkan sempat dapat compliment saat pak Gentur mengaku tengah merayakan hari pernikahan.

Lancar

Perjalanan pulang, berjalan lancar tanpa ada kemacetan berarti. Macet baru menghadang saat tiba di Nagrek. Kesal sih. Tapi rasa kesal berkurang saat kami mulai menikmati pemandangan indah sepanjang jalur Nagrek. Sayang kami tidak sempat berhenti untuk sekedar menikmati pemandangan atau foto-foto. Badan sudah cape. Saat itu yang kami pikirkan bagaimana agar bisa segera sampai rumah.

salah satu pemandangan di jalur nagrek, melewati terowongan yang membelah bukit. Ini keren banget deh.
Lepas dari Nagrek, kemacetan baru menghadang memasuki Cipularang. Lalu lintas padat hingga pintu keluar tol rumah kami. Alhamdulillah, akhirnya kami bisa tiba di rumah sekitar pukul 9 malam.

Benar-benar perjalanan yang menyenangkan. Saya dan pak Gentur sepakat, kami perlu sering-sering berlibur seperti ini.


Monday, April 6, 2015

Cerita Menyapih

Sudah beberapa bulan terakhir ini, saya pelan-pelan mencoba untuk menyapih si kecil. Ceritanya sih, mau weaning with love. Jadi ga pake tuh PD di kasih pahit-pahit, dikasih cabe atau apalah biar si kecil berhenti menyusu. Cara ini, menurut beberapa penelitian dinilai cukup efektif untuk mencegah trauma pada si kecil dan membantunya tumbuh lebih maksimal.

Niat boleh bulat, tapi pada prakteknya ternyata memang tidak mudah. Ada moment dimana baby Einar justru semakin ga mau lepas menyusu. Ibunya kalau sedang dirumah, benar-benar ga boleh kemana-mana. Ke kamar mandipun ditungguin. Padahal usianya sudah 2 tahun lebih dan sedang tidak sakit juga.


Kondisi ini jauh berbeda dengan Danis, si mas-nya. Danis relatif lebih mudah disapih. Yah, karena faktor saat itu dia sering saya tinggal pergi untuk waktu yang lama. Saat terakhir saya pergi selama 3 minggu, pulang-pulang dia sudah tidak mau lagi menyusu. Padahal saat itu usianya belum genap 2 tahun.
 
Kembali ke Einar, saya juga sering mengajaknya berkomunikasi. Kasih tahu bahwa dia sudah besar, malu jika masih menyusu. Kadang juga saya batasi. Misalnya saat dia minta n*nen sebelum bobok saya kasih sebentar. Setelah itu saya lepas. Langsung merengek sih dia. Saya tetap diam, pura-pura tidur dan dia tambah nangis histeris. Tapi saya tahan-tahanin untuk ga ngasih. Sampai akhirnya dia bobok sendiri karena kecapean. Hiks.. kejam banget yah saya?

Suatu hari saya coba iseng kasih sambel di n*pple saya. Einar sempet histeris dan tidak mau nyusu selama beberapa saat. Antara lega dan sedih juga sih. Katanya mau weaning with love, tapi kok pakai cara-cara old school. Akhirnya saat dia rewel dan karena kasihan, saya tenangkan dengan menawarkan nyusu. Mau tahu jadinya gimana? dia makin ganasss nyusunya. Hehe…


Bayi pintar yang tahu benar bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan.. :D

Lalu beberapa akhir belakangan ini, saya sempat happy sesaat setelah selama beberapa hari Einar benar-benar stop menyusu. Hingga suatu malam, tanpa diduga, tiba-tiba saja si bayi cerewt ini menolak tidur sama saya. Dia merengek dan nangis minta bobok sama si bibik. Saya rayu, saya pukpuk, saya usap-usap bukannya diam dia nangis malah tambah kencang. 


Duh.. rasanya sediiiihhhh banget. Momen dimana saya merasa berdosa karena dia lebih banyak tumbuh dan besar sama si bibik dibandingkan saya sebagai ibunya.

Ditengah kesedihan dan mati gaya karena tidak tahu harus menenangkan dengan cara apa lagi, akhirnya saya pun menawarkan dia untuk menyusu: "Ade mau nyenye (nenen?)," tanya saya. Bocah ini dengan sigap langsung menjawab, "maauuuu... ".Dan beberapa saat kemudian, dia langsung terlelap dengan mulut yang masih menempel di PD saya. Fiuh.. :/

Di luar dugaan, kejadian ini terus berlanjut hingga malam kedua, ketiga dan seterusnya. Antara kesel, kagum dan lucu melihat bayi 2,5 tahun ini tahu benar bagaimana mendapatkan apa yang dia inginkan. Entah dari mana dia belajar, tapi sepertinya cerita menyapih ini akan terus berlanjut untuk waktu yang tidak bisa ditentukan.

Baiklah nak, Ibu ikut kamu saja! :*