Wednesday, December 31, 2014

2014

2014 tinggal tersisa hitungan jam. Sujud syukur ternyata bisa melalui tahun ini dengan 'selamat' (maaf lebay. Hehe..). Tahun yang benar-benar penuh tantangan. Tahun pembuktian, bahwa hidup tidak selamanya berjalan mulus. Bahwa kadang kita 'diatas', kadang kita terperosok hingga ke dasar yang tidak pernah kita bayangkan sebelumnya.

Dan dipenghujung tahun ini, saya bersyukur bisa tersenyum manis. Menengok sebentar, melihat begitu banyak cobaan yang saya dan keluarga hadapi. Ada cobaan yang datang tak terduga. Ada yang sepertinya 'sengaja' saya buat ada. Hehe..

Apapun itu, banyak pelajaran yang saya cerna sepanjang 2014. Bahwa saya perlu lebih sering bersyukur, lebih sering tidak mengeluh dan lebih sering menikmati hidup dalam kondisi apapun.

2015, semoga saya menjadi pribadi yang lebih baik lagi.

Amin!

Monday, November 17, 2014

Interstellar

Yah, Interstellar. Sudah pada nonton belum filmnya? Kalau belum, disarankan untuk tidak baca tulisan saya ini. Karena isinya penuh spoiler. Hehe..

Anyway, saya hampir tidak pernah mereview sebuah film. Tapi karena setelah nonton Interstellar, kebayang-bayang sampai kebawa mimpi (lebay...), jadi saya tertarik untuk bikin ulasannya.

Interstellar merupakan salah satu karya gokil dari sutradara kenamaan Christopher Nolan, bersama sang adik Jonathan Nolan (adiknya lebih cakep ternyata dari kakaknya). Jujur dari sepanjang 2,5 jam lebih durasi film, hampir 75 persen saya tidak mengerti ngomongin apa (maklum anak IPS). 

Dialog para pemain yang antara lain dibintangi abang ganteng Matthew McConaughey dan si kece Anne Hathaway, hampir seluruhnya berbau science. Tapi anehnya, saya betah dan memperhatikan dengan serius film ini.




Cerita dimulai dari kehidupan sebuah desa, yang tengah berada dalam bahaya bencana alam dan bencana kelaparan. Awalnya saya pikir, ceritanya berawal dari periode masa lalu. Sampai Cooper (Matthew McConaughey) seorang ayah dua anak mantan pilot NASA, mengejar sebuah pesawat tanpa awak saat akan mengantar anak-anaknya ke sekolah. Dari sini saya (agak) ngeh kalau setting film ini berada di masa depan.  



Ditengah ancaman bencana alam dan kelaparan, anak Cooper, Murph kerap diganggu oleh 'makhluk' yang seolah-olah ingin mengirim sebuah pesan. Chooper awalnya tidak menghiraukan keluhan Murf, sampai suatu hari setelah badai pasir melanda wilayah mereka, Chooper menemukan sebuah kode koordinat. Karena penasaran, Chooper berkendara menuju kode koordinat yang dimaksud yang ternyata menuju sebuah tempat penelitian rahasia milik NASA.





Ditempat itu, Cooper mengetahui rupanya NASA tengah menjalankan misi rahasia untuk menemukan tempat baru bagi manusia hingga ke luar sistem tata surya kita. Hal ini didorong oleh kemunculan lubang cacing (wormhole) sejak 48 tahun silam di dekat Saturnus.

Buat yang belum tahu (ish.., sok ngasih tau), lubang cacing itu semacam fenomena yang sampai saat ini belum bisa dibuktikan keberadaanya (CMIIW). Banyak ahli yang menyebutkan, wormhole atau lubang cacing merupakan jalan pintas menuju tempat baru yang jaraknya sangat jauh. Analogi umum yang digunakan adalah, lubang cacing itu ibarat sebuah apel dimana kita hidup dipermukaannya. Agar kita bisa menuju ujung apel tanpa memutar, maka kita bisa melubangi apel.

Balik lagi ke cerita, Chooper mendapat tawaran untuk menjadi bagian dari tim penjelajah. Di dorong hasrat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, Chooper akhirnya setuju untuk menitipkan kedua anaknya kepada sang Ayah. Istri Chooper sudah meninggal karena kanker.




Kemudian dimulai lah petualangan Chooper bersama 3 orang awak lain, termasuk satu robot yang siap membantu tugas mereka. Petualangan diawali ketika mereka memasuki lubang cacing yang digambarkan mudah hancur karena tidak memiliki gaya gravitasi (duh, benar ga nih?). Dengan keterbatasan bahan bakar, mereka harus memilih planet mana yang akan dikunjungi 

Pilihan pertama jatuh pada Planet Miller, yang sebenarnya sudah memiliki salah satu syarat untuk bisa ditinggali manusia yaitu keberadaan air. Hanya sayang, Planet ini tidak memiliki daratan. Waktu juga berjalan lambat di Planet Miller. Satu jam di Miller, sama dengan 7 tahun di Bumi.

Cooper tidak mau menyia-nyiakan waktu di Miller, karena dia berjanji untuk segera kembali ke Bumi menemui keluarganya terutama Murph, yang menentang kepergian sang ayah. Namun sayang ditengah pengumpulan data, sebuah tsunami besar menghantam kapal mereka. Cooper kehilangan salah satu krunya. Dan ketika ia kembali ke kapal induk Endurance, ternyata jika dihitung Cooper telah meninggalkan bumi selama 23 tahun.

Dari Miller kini pilihannya tinggal dua, menuju Planet Mann atau Edmunds. Oiya, nama-nama planet ini berasal dari astronot yang terlebih dulu tiba di Planet tersebut untuk mengumpulkan data-data kelayakan Planet. Dengan berbagai pertimbangan, pilihan jatuh ke Planet Mann dimana ternyata Dr. Mann (yang diperankan oleh si ganteng Matt Damon) sang astronot masih hidup dan berhasil dibangunkan dari tidur panjang. Saya juga baru tahu (abis googling), kalau tidur panjang dimungkinkan untuk memperlambat metabolisme tubuh.

Konflik baru muncul lagi saat ternyata Dr. Mann diketahui telah berbohong atas semua data tentang planet tersebut yang dikirim ke Endurance. Dr. Mann berusaha untuk membunuh Cooper dan tim dan pulang sendiri ke bumi. Namun usaha tersebut gagal, Mann justru terbunuh saat akan bergabung ke kapal induk Endurance.



Semantara itu, Prof Brand yang menjadi otak misi ini semakin tua dan siap menjemput ajalnya di Bumi. Saat detik-detik menjelang kematiannya, Brand mengungkapkan kepada Murf (yang saat itu telah dewasa dan juga bekerja untuk NASA) bahwa misi Cooper itu sia-sia karena dia belum bisa menemukan persamaan yang memungkinkan manusia bisa keluar dari daya tarik gravitasi bumi secara massal. 

Karena itu ia menyarankan untuk menjalankan rencana B, yaitu meninggalkan semua manusia bumi dan membentuk koloni baru melalui embrio yang turut dibawa serta dalam misi Cooper.


Nah sampai disini saya pikir filmnya sudah mau habis. Semacam film yang pakai plot un-happy ending gituh. Tapi ternyata tidak. Cooper memutuskan untuk menuju Planet Edmunds yang selama ini selalu mengirim data yang cukup memuaskan. Dengan keterbatasan bahan bakar dan kondisi kapal yang mulai rusak, Cooper mengambil jalur melalui Gargantua, sebuah lubang hitam yang memiliki daya tarik gravitas sangat tinggi tapi bisa mempersingkat jarak tempuh menuju Planet Edmunds. 

Namun karena daya gravitasi yang sangat tinggi, kapal Cooper hancur namun dia berhasil melontarkan diri dan terjebak di ruang luar dimensi tempat waktu tidak bersifat linier (ish, gaya banget deh bahasanya kaya ngerti ajah. hehe...). Disini nih, ciri khas Sutradara Nolan yang sering memainkan plot twice atau mindfuck muncul deh, macam di Inception.

Lalu bagaimana nasih Cooper? Berhasilkan dia menyelamatkan manusia dari kehancuran Bumi? Tonton ajah gih, filmnya. Nanya muluk. Hehe..

Oiya bagi yang sudah nonton dan masih bingung, mungkin bisa cek link ini.


note : tulisan ini dibuat setelah saya googling sana-sini, karena bingung sama jalan cerita filmnya. Akhir pekan ini, saya berencana untuk menonton lagi and I'll share you later on :).



Sunday, September 14, 2014

Takdir Anak


Kemarin keluarga kami baru saja menggelar acara syukuran 4 bulan kehamilan, calon anak pertama dari adik bungsu saya. Tradisi di keluarga kami, biasanya acara akan dipimpin oleh Nini (Nenek) kami yang meski sudah udzur tapi masih sehat. Nini akan memimpin doa, lalu memberi siraman rohani untuk kita semua.

Karena momennya tentang syukuran kehamilan, maka tema siraman rohani juga tidak jauh dari persoalan tentang bagaimana menjadi orang tua dan bagaimana agar kita tidak jadi anak yang durhaka. 

Nini bercerita ketika seorang janin memasuki usia 4 bulan, maka disaat itulah Allah SWT akan meniupkan rohnya dan menetapkan takdir dari si janin mulai dari jodoh, rejeki dan sebagainya sampai apakah nanti dia akan menjadi anak yang baik atau justru jadi anak durhaka. Cerita Nini tadi menggelitik saya untuk bertanya. Memang ada yah, anak yang ditakdirkan untuk menjadi anak durhaka? 

Menurut Nini, menjadi manusia buruk dan baik itu memang ada takdirnya. "Tapi jangan lupa, takdir itu ada juga yang bisa diubah dengan cara usaha dan doa," jelas Nini.

Nini melanjutkan, adalah tugas orang tua dalam membentuk anak-anak mereka dalam menjalani takdir yang telah ditetapkan. Meski ada anak yang ditakdirkan menjadi durhaka, tapi dengan bimbingan dan doa dari orang tuanya bukan tidak mungkin takdir si anak bisa berubah. Demikan juga sebaliknya.

Ada cerita seorang Uztads yang sangat sholeh diakhir kiamat menempati surga karena semua amalannya. Sementara anaknya, ternyata menghuni neraka karena segala dosanya. Saat disiksa, si anak mengadu pada malaikat. Mengapa bapaknya bisa masuk surga, sementara dia tidak? Padahal menurut si anak, dia menjadi durhaka karena si bapak yang tidak pernah membimbing dan mengajarkan amalan baik. Mendengar hal tersebut, malaikat mengkonfirmasi langsung kepada si bapak. Si bapak mengakui kelalaiannya yang tidak mendidik si anak dengan baik. Atas kelalaian tersebut, si bapakpun dibuang ke neraka.

Mendengar ini, saya langsung protes sama Nini. Saya bilang bahwa setiap anak itu punya kehendak sendiri. Kadang sudah sedemikan rupa kita mengajarkan kebaikan pada seorang anak, tapi ketika dihadapkan oleh lingkungan dan hasrat dari anak itu sendiri bukan tidak mungkin, semua ajaran kita akan sia-sia.

Lalu Nini menjelaskan, jika orang tua sudah memberikan bimbingan dan mencurahkan segala kebaikan pada si anak, tapi dia tetap tumbuh menjadi anak durhaka, maka hal tersebut tidak lagi menjadi dosa orang tua. “Dan ingat, kita jangan hanya mengajarkan anak untuk berbuat baik. Tapi kita juga harus memberi contoh pada mereka,” pungkas Nini.

Sunday, August 24, 2014

Office Syndrome

Seorang teman sering mengeluh soal pekerjaannya. Awalnya saya tidak menanggapi. Karena bagi saya, kerja dimana saja sama. Konfliknya-pun tidak jauh berbeda.

Sampai suatu hari dia mengirim pesan, bahwa dia sudah benar-benar tidak sanggup lagi bekerja di tempat itu. Setiap sampai kantor, teman saya ini kerap menderita sakit kepala hebat. Dia menyebutnya office syndrome. Karena berkali-kali memeriksakan diri ke dokter, hasilnya selalu bagus. Tidak ada masalah kesehatan yang signifikan. Ia berkesimpulan, bekerja di kantor itulah yang membuatnya sakit kepala.

Ada beberapa faktor yang menurut teman saya ini menjadi pemicu ketidaknyamananya. Mulai dari load kerja sampai dengan bos yang tidak menyenangkan.

Jujur saya sedih mendengar ini. Sedih karena dia sampai harus mengalami stres berat karena bekerja. Padahal kalau dipikir-pikir, load kerja atau bos nyebelin itu biasa banget kan? Apalagi rasa stres yang dirasakan teman saya ini, juga meningkat ketika dia mengingat hingga saat ini belum juga mendapatkan tempat kerja baru.

Dari situ sebenarnya saya sering memberinya nasihat. Bahwa kita perlu kerja. Bahwa mencari kerja itu tidak mudah. Karena itu kita harus sabar. Kita harus banyak bersyukur, bla.. bla.. bla.. Apalagi secara finansial, salary yang diterima teman saya ini terbilang tinggi.

Saya bisa bilang begini, karena belajar dari pengalaman yang pernah emosional ketika memutuskan berhenti. Sempat culture shock juga karena biasa hidup dengan dua pendapatan, lalu tiba-tiba hanya ada satu pemasukan. But I never regret it.

Anyway, beruntung saya masih punya suami yang mensupport tidak hanya financially, tapi semua kegilaan saya (hehe..) Jadi walaupun hidup pas-pasan, tapi at least kami tidak kelaparan.

Sementara suami teman saya ini, hanya seorang wiraswasta yang tidak bisa diandalkan untuk mencukupi segala kebutuhan. Hal ini yang membuat dia (katanya) semakin dilemma.

Berbicara soal resign, saya sendiri dulu pernah begitu menyukai pekerjaan saya. Tapi sayang, benefit yang diberikan perusahaan terbilang minim sehingga saya tidak betah, kena office syndrome dan akhirnya mencari pekerjaan baru.

Dasar manusia, ketika keinginan terwujud saya mengeluh lagi karena pekerjaannya tidak saya suka. Setiap ngantor, lagi-lagi saya kerap kena office syndrome. Dari situ saya sadar, gaji besar tidak menjamin kita semangat bekerja.

So what I’m trying to say is : It’s not a big deal quitting from terrible job, but you have to ready with all the consequences. Beda cerita kalau kita resign, tapi sudah mendapatkan pekerjaan baru. Karena yang bikin pusing, kalau resign dan jadi pengangguran. Hehe..

Yah, hidup memang sebuah pilihan. Tapi apapun itu, yang perlu digarisbawahi adalah : bahwa sampai kapanpun, kita tidak akan pernah mendapat semua yang kita mau.

Jadi, mari kita banyak bersyukur.

Thursday, June 19, 2014

Upah

Sudah beberap bulan terakhir ini saya memulai sebuah bisnis kecil-kecilan. Meski baru dan belum berpengalaman sama sekali, tapi bisnis ini lumayan banyak peminatnya. Melampaui ekspektasi saya. Seluruh biaya operasional bulanan terpenuhi termasuk gaji karyawan, bahkan saya bisa menikmati sedikit keuntungan.

Namun dalam perjalanannya, ada yang sedikit mengganjal. Ternyata saya tidak bisa memberikan upah yang layak, setidaknya dari kacamata saya. Para karyawan digaji kecil sekali. Padahal selama ini, saya selalu berkoar-koar soal pemberian upah layak bagi pekerja.

Jujur saya merasa dilema. Mau memberi lebih besar, bisa-bisa saya tidak dapat untung sama sekali. Atau bahkan mungkin, harus nombok biaya operasional. Saat itu saya berpikir untuk menutup saja usaha saya ini. Rasanya ada yang mengganjal jika berbisnis tidak sesuai hati nurani.

Namun ternyata para karyawan yang kebanyakan tinggal didekat toko, tidak setuju dengan rencana saya tadi. Mereka khawatir kehilangan pendapatan, jika usaha kami tutup. 

Lalu saya berpikir lagi, saya memang belum bisa memberikan upah yang layak bagi karyawan saya. Tapi disisi lain, (saya merasa) saya telah berlaku adil terhadap mereka. Saya memberikan sedikit 'bonus' jika toko sedang ramai, saya tidak memakan paling banyak keuntungan yang kami dapatkan dan saya tidak pernah memaksa mereka bekerja diluar batas kemampuan mereka. Ditambah lagi, ini memang murni usaha kecil yang omzetnya tidak sampai belasan juta tiap bulan.

Memasuki bulan keempat, alhamdulillah usaha kami masih relatif ramai. Tentu yang saya jalanin ini bukan tanpa kendala. Berkali-kali, saya ingin menyerah. Mudah-mudahan usaha kami amanah. Meski untungnya kecil, tapi saya bahagia setidaknya sudah bisa sedikit membuka lapangan kerja.


Monday, April 28, 2014

Anak ASI ga gampang sakit?

Sejak hamil anak pertama, seperti ibu-ibu pada umumnya, saya selalu terobsesi untuk memberikan yang terbaik untuk anak saya. Mulai dari ASI eksklusif, Mpasi rumahan, sampai imunisasi saya lakukan. Alhamdulillah, Danis, anak pertama saya tumbuh sehat, pintar, kuat dan jarang sakit hingga saat ini diusianya menjelang 4 tahun.

Pun anak kedua, saya lakukan hal yang sama. Malah si kecil lebih 'beruntung' dari kakaknya. Dia tidak pernah sekalipun saya tinggal hingga berhari-hari seperti kakaknya dulu. Sampai sekarang si kecil masih menyusu, walaupun harus campur susu tambahan saat saya tinggal bekerja.

Tapi yang membuat saya heran, si kecil ini mudah sekali sakit. Dia sudah dua kali menginap dirumah sakit karena bisul dan karena rota virus. Belum lagi langganan batuk pilek, yang bisa dibilang hampir sebulan sekali. Saya sedih kok bisa yah? Padahal makannya bagus. Sayur dan buah suka. Bahkan sampai sekarang masih ASI. Kok bisa yah? Katanya anak ASI jarang sakit?

Meski sering sakit, saya termasuk yang 'pelit' kasih obat. Saya rawat biasa saja. Paling kasih obat diwaktu malam hari, agar bisa tidur pulas. Itupun hanya paracetamol, atau obat-obat dosis ringan yang dijual dipasaran.

Sempat ada tetangga yang 'protes' atas cara saya merawat anak yang sakit ini. Dia suka mengeluh anaknya jadi tertular. Yah sedih dianggap punya anak bawa 'wabah' penyakit.

Dalam kasus ini, saya memang punya pandangan berbeda dari tetangga-tetangga saya. Mereka, menurut saya, gampang sekali memberi obat ke anak-anak mereka. Padahal kalau hanya common cold harusnya bisa sembuh sendiri. Memang sih, rasanya tersiksa banget saat anak sakit. Tapi hal itu tidak membuat saya lantas begitu mudah memberi obat. Apalagi sampai harus ke dokter. Kalau bukan menurut saya urgent, tidak perlu lah ke dokter.

Tapi hari ini, saya akhirnya nyerah dan membawa si kecil ke dokter karena batuk pilek yang tidak kunjung sembuh selama hampir sebulan. Saya bawa ke dokter, karena tadi malam dia kembali demam. Kalau dihitung dalam sebulan ini dia sudah tiga kali demam. Jadi pilek dan batuk sudah mau sembuh, lalu tiba-tiba demam lagi dan batpil kembali muncul.
Si kakak juga saya bawa, karena ikut batpil meski tidak demam.

Yah dokter belum tahu sih, apa penyebabnya. Dia bilang perlu pemeriksaan lab lebih jauh. Obat yang diberikan, hanya untuk meredakan batpil dannnn.. Antibiotik! Nah, ini yang saya bingung, wong dia belum tahu penyebabnya apa kok dikasih antibiotik?

Ini yang membuat saya kadang malas ke dokter. Kenapa sih ga dicari tahu dulu penyebabnya apa, baru dikasih obat? Kenapa tidak bersabar menunggu hasil lab, baru diberikan antibiotik jika memang diperlukan. Rasanya ke dokter itu hanya buang-buang waktu. Sudah antri lama, mahal, dokternya males pula cari tahu penyakit pasiennya.

Anyway kembali lagi soal ASI. Lalu benarkah anak ASI itu tidak gampang sakit? Dalam kasus anak saya, kayanya pernyataan yang selalu digembar-gemborkan aktivis ASI itu tidak selalu benar. Yah mungkin saja, anak saya special case. Atau mungkin juga, seandainya si kecil tidak diberi ASI justru dia akan lebih sering lagi sakit?

Wal Hu Allah Hu Allam. Yang jelas seperti orang tua pada umumnya, saya hanya ingin anak-anak sehat. Tidak tega rasanya melihat mereka merengeng kesakitan. Semoga besok, mereka bisa kembali ceria.

Amin..

Sunday, April 20, 2014

Danis Suatu Hari

Danis suatu hari:

Danis: ih, ibu sepatunya jelek banget. Robek.

Me : iyah, sepatunya kan udah lama. Ga pa-pa masih bisa dipake.

Danis: bu, beli yang baru dong..

M: yah, ibu ga punya uang. Nanti ajah ah, abis gajian.

D: (terdiam) Ibuu.. kalo aku udah gede, aku mau kerja di kantor kaya bapak. Nanti kalo aku gajian, aku beliin ibu sepatu yang baru yah..

M: *lsg mewek penuh haru


Monday, April 7, 2014

Perempuan Hari Ini

Sebut saja namanya Sari. Umur sekitar 33 tahun. Belum nikah dan 'belum' punya pacar. Penampilan? Yah relatif lah. Karir? Hmm.. Not bad cenderung OK. Yang jelas dia sudah bisa beli rumah sendiri dan gaji sudah dua digit.

Setiap ada kesempatan, dia selalu curhat tentang seorang yang tidak dia suka namun selalu mengejarnya. Pria itu menurut saya orang baik. Karena kebetulan saya kenal dia. Umurnya lebih muda sedikit dari Sari. Soal penampilan, jika disandingkan dengan Sari bagi saya cukup serasi kok. Tapi bagi Sari, pria itu tidak se-kasta dengan dia. Tidak hanya dari isi kantong, tapi juga isi kepala. Sari sering bercerita, bagaimana pria itu bercerita tentang sesuatu yang sudah Sari ketahui sepenuhnya.

"Yah dia kan pengen bikin lo terkesan. Wajar ajah sih," kata saya suatu hari. "Iyah, tapi dia ngasih informasi yang gw udah tau bahkan sebelum dia lahir," balas Sari, hiperbola. Hehe..

Selain pria itu, Sari juga sering bercerita tentang cinta terlarangnya dengan lelaki lain yang sudah dia pacari sekitar 3 tahun. Lelaki itu sudah beristri. Saya lupa sudah punya anak atau belum. Menurut Sari, lelaki itu tipe dia banget. Mapan, penuh kasih sayang dan pintar.

"Yah jelas lah mapan, dia kan udah bertahun-tahun kerja. Penuh kasih sayang? Yah, namanya pria beristri udah khatam lah soal ginian. Kalau pinter, itu relatif. Namanya juga orang jatuh cinta, yang dilihat yang indah-indah saja," celoteh saya waktu itu menunjukan ketidaksukaan atas pilihan Sari.

Menurut Sari, hubungan mereka sudah tahan serius. Mereka beberapa kali berlibur bareng. Hanya si lelaki belum berani menikahi Sari, dengan alasannya sang istri tidak mau dicerai. Hah.. Klise banget bukan?

Lalu saya bilang sama Sari. It's very simple. If he loves you he'll marry you without excuse. Dan seperti biasa, Sari akan mendengar saya saat itu dan akan lupa keesokan harinya.

Cerita tentang Sari ini sebenarnya tidak hanya satu. Beberapa teman ada juga yang punya kisah mirip dengannya. Saya sebenarnya tidak ada masalah. Semua orang bebas untuk memilih. Tapi mungkin teman-teman saya ini lupa, bahwa pilihan mereka akan semakin terbatas seiring dengan beranjak usia.

Anyway, apapun itu, semoga kita selalu bahagai ajah deh temans.

Mari merayakan hidup!

Wednesday, April 2, 2014

Rentenir itu bernama Perbankan Nasional?

Seorang teman baru saja membeli rumah bekas. Karena tidak punya uang tunai, makanya pilihannya apalagi kalau bukan pinjam ke bank. Pilihan jatuh pada sebuah bank syariah nasional, setelah beberapa bank mainstream menolak memproses take over KPR. Mungkin karena angkanya tidak besar dan prosesnya ribet, jadi mereka males urus.

Angka kredit teman saya memang tidak besar. Hanya 155 juta. Tapi bank syariah tadi setuju untuk memberikan dengan bunga flat 13,50% per bulan! (gilaaakkk.. Ngalah-ngalahin rentenir banget kan).

Tiap bulan, teman saya ini bayar cicilan tetap sebesar Rp. 2.360.251,48 selama 10 tahun. Yang berarti tiap bulan juga, dia harus bayar bunga sebesar Rp. 1.068.584,82! Gilak banget yah. Belum lagi biaya akad, pajak notaris dan sebagainya yang harus dibayar sekitar 20 jutaan.

Suku bungan acuan Bank Indonesia memang lagi tinggi saat ini 7,5%. Tapi apa memang bank bisa menentukan bunga seenak jidat kaya gini yah? Herannya lagi, namanya bank syariah tapi netapin bunga tinggi kaya rentenir dan prosesnya yang memakan waktu lebih dari 3 bulan. Bahkan hingga saat ini teman saya itu belum juga akad.

Saya sendiri pakai bank konvensional. Kena buka tetap selama 2 tahun, lalu bunga naik lagi pada tahun 3 dan 4 dan sisanya floating. Agak susah hitungnya kalau floating. Tapi sepertinya, tidak jauh beda.

Kondisi ini yang menurut saya membuat orang semakin sulit punya rumah. Harganya menggila, proses kredit yang sulit dengan bunga tinggi. Ga heran kebutuhan primer ini, hanya dikuasai orang-orang tertentu. Padahal kita punya kementerian sendiri yang khusus mengurusi rumah: Kementerian Perumahan.

Apa saja yah kerjanya mereka? Entah lah..

Saturday, March 15, 2014

Sok Ekstrim Ga Jelas

Pacar saya yang dulu, sering menyebut saya sebagai 'interaksionis sejati'. Dia bilang, interaksionis itu adalah ciri-ciri orang yang ketagihan sama konflik (ga tau deh istilah ini benar apa tidak, belum cek mbah google. Hehe). Dalam ilmu sosial, konflik itu tidak selalu dimaknai negatif. Sebab konflik bisa saja membuat sebuah kelompok yang terpecah menjadi solid.

Contoh kasus, waktu Indonesia bersitegang dengan Malaysia terkait klaim malaysia terhadap beberapa kebudayaan Indonesia. Saat itu, rasa nasionalisme masyarakat tumbuh. Semua sepakat menganggap Malaysia musuh.

Atau dari kasus yang lebih sederhana, biasanya sepasang kekasih akan lebih intim sehabis bertengkar, misalnya.

Nah, orang-orang yang punya kecenderungan 'interaksionis' ini senang mencari-cari konflik untuk mencapai hal positif. Apapun dijadin konflik a.k.a masalah. And that was me, he said..

Tapi yang namanya konflik, kebanyakan orang pasti ingin menghindari. Cari aman lah. Makanya, orang dengan karakter 'interaksionis' ini kurang disukai. Kasarnya, emang ga ada cara lain apa untuk meraih sesuatu yang positif?

Lalu sekarang suami saya bilang kalau saya tipe orang yang suka 'sok ekstrem ga jelas' dalam melakukan atau berpikir tentang sesuatu. Ga ngerti sih maksudnya apa. Tapi kayanya agak-agak mirip sama si 'interaksionis' ini.

Oh well, mungkin saja apa yang orang katakan tentang saya itu benar meski ga sepenuhnya benar. Saya memang tergila-gila sama tantangan. Kadang suka terlalu spontan, sulit mengendalikan diri kalau sudah punya keinginan. Tahu sih itu tidak baik, tapi gimana dong namanya juga spontan.

Tapi mungkin dari 'kegilaan-kegilaan' itu yang membantu saya mencapai sesuatu. Walau terkadang juga, tidak jarang bikin kesandung batu.

Dan berhubung saya sudah tidak lagi muda, mungkin sudah saatnya belajar untuk lebih bersyukur. Ga perlu terlalu ngoyo. Ingat kalau prioritas utama, tetap anak-anak yang butuh ibunya lebih banyak dirumah.

Thursday, February 13, 2014

Sebuah Pilihan

Beberapa hari lalu, saya mengambil sebuah keputusan besar. Keputusan yang mungkin saja saya sesali nanti, tapi mungkin saja ini pilihan yang tepat. Agak ragu ketika saya ingin menceritakan ini ke suami. Takut dia marah dan menuduh saya gegabah. Karena itulah kebiasan buruk kami. Kami suka sekali saling menyalahkan.

Namun diluar dugaan, pak Gentur memeluk saya dan mengatakan dia akan dukung apapun keputusan saya. Dia tidak akan menyalahkan saya, meski nanti (mungkin) hidup akan semakin sulit karena keputusan saya tadi. Seketika itu juga saya menangis. Menangis karena begitu besar dukungan pak Gentur ke saya.

Teman saya bilang itu hal wajar. Dia suami saya. Dia pasti dukung saya. Tapi bagi saya, itu benar-benar seperti eskavator yang mengangkat saya dari jurang. Terutama karena dia satu-satunya mendukung saya, meski (mungkin) betapa bodoh keputusan yang saya ambil.

Sekarang saya semakin yakin dengan keputusan saya. Semoga ini memang jalan yang terbaik. Amin.

Wednesday, January 29, 2014

Tentang Seorang Teman

Waktu di sekolah dulu, saya pernah punya beberapa teman dekat. Yah, ngegenk gitu deh. Jumlahnya sekitar 8 orang. Kami sangat dekat satu sama lain. Kami juga punya hobi yang sama, musik. Sampai kami punya band dan berhasil jadi band (kayanya yah) perempuan pertama yang manggung di acara Pentas Seni atau pensi ulang tahun sekolah kami.

Tidak mudah untuk bisa tampil di acara pensi. Kita harus ikut audisi dulu. Dan entah kenapa band kami bisa lolos audisi. Padahal masih amatir. Mungkin karena semua anggotanya perempuan, jadi juri merasa kasian. Hehe..

Selepas sekolah, tak satupun dari kami menempuh kuliah di universitas yang sama. Tapi kami masih sesekali bertemu, apalagi di saat momen penting seperti pernikahan dari salah satu kita.

Sampai suatu hari, kami berkumpul di sebuah Rumah Sakit. Salah satu dari kami sakit. Dia menderita suatu penyakit, tepat beberapa hari setelah melahirkan anak pertamanya. Saat itu saya pikir, dia akan segera sembuh seperti sedia kala. Tapi ternyata saya salah, penyakit itu membuat dia tidak bisa lagi berjalan.

Saya sedih sekali. Tidak terbayang rasanya menjadi dia. Waktu di rumah sakit, saya melihat wajahnya yang begitu tegar. Saya memang jarang mendengarnya mengeluh, saat kami masih sekolah dulu.

Lalu dia kembali ke Batam. Melanjutkan hidupnya disana. Beruntung BUMN tempatnya bekerja, masih mau menerimanya. Sejak saat itu, kami jarang berkomunikasi. Standar sih, karena kesibukan dan lain sebagainya.

Tapi sesekali saya masih mengikuti perkembangannya. Dia sangat ekspresif menuangkan perasaanya di sosial media. Kadang saya sangat sedih membaca apa yang dia tuliskan. Terutama karena ada perlakuan diskriminasi yang dia rasakan. Tapi saya memilih untuk diam tidak memberi komentar, karena takut melukai perasaanya. Yang bisa saya lakukan hanya berdoa.

Terakhir, saya melihat postingan foto terbarunya. Dia duduk di kursi roda, sedang berkumpul bersama keluarga. Saya melihatnya tersenyum, dan saya ikut tersenyum walau dengan hati yang sedih.

Senyumnya membuat saya saya merasa malu, kerdil karena terlalu banyak mengeluh. Saya tidak diposisi dia, tapi saya selalu merasa kurang dan ingin lebih. Saya selalu merasa mendapat perlakuan tidak adil, padahal hidup saya tidak ada apa-apanya dibandingkan apa yang dialami teman saya.

Kepada seorang teman, terima kasih sudah mengingatkan. Semoga kita bisa sama-sama menjadi manusia yang lebih banyak bersyukur.

Mari bersabar...

Sunday, January 5, 2014

Resolusi 2014

Tahun 2014 baru masuk beberapa hari. Belum telat rasanya untuk buat resolusi. Kata orang, ada baiknya resolusi itu ditulis. Jadi diakhir tahun, bisa kita lihat apa saja pencapaiannya. Well, saya tidak pernah melakukan ini sih sebelumnya. Tapi tahun ini, mari kita coba.. :)

Resolusi 2014

1. Ingin rapihin rumah lagi : beli hordeng baru (selama ini baru punya satu), beli meja rias (sama kamar set kalau bisa), cat rumah, sedikit renovasi teras depan.

2. Beberes mobil : ganti ban (pengennya semuanya sih diganti. Tapi 2 dulu juga ga apa-apa), ganti kulit jok plus karpet bawah. (buat saya, itu dulu sudah cukup. Jangan tanya suami yah. Dia pasti inginnya lebih banyak lagi).

3. Keluarga  : ingin bawa anak-anak berkendara jalan-jalan menyusuri pulau Jawa. Pengen juga sih, bawa mereka ke Lombok. Yang mana dulu deh. Yang penting bisa ajak rombongan sirkus jalan-jalan.. :)

4. Me : ingin bisa lebih baik lagi dalam segala hal (standar banget yah. Hehe..), olah raga rutin minimal seminggu 2x, lebih aware sama makanan sehat. Dan yang terakhir semoga tahun ini bisa merantau.

Meski saya menulis nomer satu sampai empat, tapi prioritas yang ingin dicapai urutannya dari bawah ke atas. Thats I really want it the most!

Semoga bisa tercapai. Aminnnn..